Sebulan
setelah konsultasi dengan psikiater lewat aplikasi Halodoc dan didiagnosis
gejala depresi, aku mencoba konsultasi lagi dengan psikolog di aplikasi
Riliv. Kenapa mau coba aplikasi ini? Sebetulnya karena setelah baca review
teman yang sudah pernah mencoba yang katanya bagus, cukup bikin lega, jadi aku
penasaran ingin coba. Aplikasi ini memungkinkan kita sebagai klien untuk melakukan
konseling berbayar dengan profesional (khusus psikolog) yang
tersedia dalam berbagai pilihan paket. Selain itu, Riliv juga menyediakan fitur lain seperti latihan meditasi, daily journal, dan berbagai artikel yang berhubungan dengan kesehatan mental.
Untuk
konseling via teks, ada Paket Perkenalan dengan
biaya Rp. 100.000,- per sesi berdurasi 60 menit (masa berlaku satu minggu), ini
direkomendasikan untuk First Timer. Lalu ada Paket
Lega dengan biaya Rp. 350.000,- untuk empat kali sesi (masa berlaku
satu bulan). Kemudian ada juga Paket Nyaman dengan biaya
sebesar Rp. 640.000,- untuk delapan kali sesi (masa berlaku dua bulan plus
garansi uang kembali). Serta Paket Bahagia dengan biaya Rp.
924.000,- untuk 12 kali sesi (masa berlaku 4 bulan plus garansi uang kembali).
Selain itu kita juga bisa berkonsultasi melalui panggilan telepon lewat
platform Whatsapp atau Line, dengan biaya Rp. 149.000,- per sesi (Paket
Perkenalan) dan Rp. 550.000,- per empat kali sesi (Paket Lega).
Tidak hanya konsultasi melalui teks dan telepon, tapi juga tersedia konseling
melalui Video Call lewat platform Google Meet atau Zoom dengan
biaya Rp. 300.000,- per sesi.
Untuk
percobaan pertama kali, aku pilih Paket Perkenalan dengan konseling via teks.
Sayangnya, kita gak bisa milih untuk konseling dengan psikolog yang mana.
Tau-tau langsung ada chat aja menanyakan jadwal. Kalau di
aplikasi sebelumnya yang aku pakai, kita bisa milih mau konsultasi dengan
psikolog atau psikiater mana (aku menjadikan jenis kelamin, lama pengalaman
kerja, dan rating sebagai pertimbangan). Aku hanya pilih
psikolog dan psikiater perempuan karena masalahku berkaitan dengan peranku
sebagai ibu, dengan harapan agar mereka lebih memahami posisiku sebagai sesama
perempuan.
Tapi
karena di aplikasi Riliv ini gak bisa milih, jadi dapat psikolog laki-laki. Ya
udah gak apa-apa coba dulu aja. Aku jelaskan dengan rinci permasalahan yang
dialami saat itu. Bagaimana sulitnya mengatur emosi yang gak stabil dan suka
menyakiti diri. Juga pengalaman masa lalu ketika remaja yang melakukan hal
serupa, sampai aku di kelas dikenal sebagai anak yang "cengeng tapi
galak". Psikolog itu banyak bertanya penyebab pemicunya baik yang terjadi
saat itu maupun di masa lalu. Kemudian memintaku untuk menuliskan hal-hal apa
saja yang membuat aku marah pada suami dan anak, lalu dari sekian banyak hal
itu apa yang paling membuatku marah besar. Tapi aku gak bisa milih salah
satunya, karena rasanya semua penyebab itu bikin aku ingin marah, kesel,
ngamuk, dan ujung-ujungnya nangis sendiri.
Kemudian
aku ditanya apakah 1-2 bulan ini merasa produktif di rumah? Aku jawab sama
sekali tidak. Produktifku hanya sebatas nyapu-ngepel-nyuci-masak-ngurus anak
aja. Lalu ditanya juga mengenai hobiku apa, apakah aku menikmatinya? Hm. Gimana
ya.. Hobiku dulu baca buku, tapi setelah punya anak rasanya gak ada waktu buat
membaca dengan tenang. Aku juga suka menulis, tapi lebih ke arah curhat (kayak
sekarang ini, haha) atau sharing pengalaman di caption Instagram.
Bukan hal yang menghasilkan atau produktif, kan? Mungkin satu-satunya hobi yang
dinikmati adalah nonton drama korea:) Itupun sama, gak produktif.
Aku mengungkapkan
perasaan belum puas menjadi diri sendiri, makanya emosiku sering tumpah ke anak
dan suami. Aku juga masih sering menyalahkan keadaan di masa lalu, merasa
"dibuang" sama orang tua, terutama ibu. Semenjak orang tua pisah dan
aku yang masih sangat kecil itu ikut dengan nenek-kakek dari pihak bapak,
ketemu ibu bisa dihitung jari, dari balita sampai SMA cuma pernah ketemu ibu
tiga atau empat kali. Kosong banget rasanya sosok ibu dalam hidupku. Bahkan aku
gak ingat rasanya kelembutan sosok ibu itu seperti apa. Aku jadi berpikir,
kalau aja dulu sudah cukup mendapatkan kasih sayang orang tua, aku gak akan
buru-buru nikah hanya karena haus akan perhatian dan kasih sayang seseorang. Dan
ketika punya anak, aku bisa memberi kasih dan perhatian dengan tulus karena aku
sendiri merasa sudah “cukup” dan sudah tau rasanya disayang orang tua.
Tapi
ya kembali lagi ke kenyataan di masa kini, yang sudah berlalu gak bisa diubah.
Tinggal bagaimana menghadapi luka yang tertanam selama belasan, bahkan puluhan
tahun itu agar efeknya seeeeeee-minimal mungkin. Jika tidak bisa sembuh,
setidaknya lukanya memudar. Meski bekasnya mungkin tidak akan pernah
benar-benar hilang.
Jadi kesimpulannya,
harapanku setelah konsultasi gak sesuai dengan ekspektasi. Psikolog itu memberiku
saran untuk lebih menerima diri sepenuhnya, dan menerima peran sebagai ibu
rumah tangga secara penuh. Jika ingin berkarya, bisa dari rumah. Ketika merasa
produktif, maka kita akan mulai sedikit demi sedikit menerima keadaan saat ini.
Tapi kenyataannya, kelemahkanku adalah ketika ada di rumah menempel dengan anak
24 jam sehari, 7 hari seminggu tanpa “libur”. Justru kalau bisa kerja di luar
dan bertemu orang-orang itu rasanya seperti “me time”. Tapi dengan kondisi pandemi,
di perantauan tanpa ada keluarga dekat, anak mau dititip dengan siapa selama
aku kerja? Aku juga disarankan membuat jadwal rutin menulis setiap hari, karena
aku punya keinginan untuk menerbitkan buku. Berarti aku ada passion di
situ. Mungkin ini yang bisa dicoba, meski tulisanku isinya curhat semua..
Pengalamanku
melakukan konseling satu kali dengan psikolog lewat aplikasi Riliv bisa
dibilang biasa aja, bukan hal yang melegakan atau memuaskan. Mungkin karena
hanya satu kali, jadi gak bisa milih mau konseling dengan siapa (tetap, inginnya
yang perempuan, ibu-ibu). Tapi kalau pilih paket lain yang frekuensi
konselingnya lebih dari sekali katanya bisa ganti konselor untuk sesi
selanjutnya. Konselorku kemarin sebetulnya baik, cukup bisa memahami, tapi apa ya…
rasanya terlalu banyak muncul pertanyaan yang sebenarnya aku sendiri sudah tau
jawabannya. Cuma buat memancing aja dan hanya sebatas teori klise yang gak
menyelesaikan masalah. Entahlah.. Mungkin aku juga yang ceritanya kurang jelas.
Sehingga psikolog itu bilang masalahku masih terkendali dan bukan sesuatu yang
berat. Padahal yang aku rasakan sudah lebih dari berat..
((bersambung))