Skip to main content

Posts

Pengalaman ke Psikiater dengan BPJS

 Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, jika ada kesalahan mohon dikoreksi ya.. Di postinganku sebelumnya ( My Mental Health Journey Part 5 ), kata psikiater yang kuajak konsul online saat itu bilang kalo berobat kesehatan jiwa ke psikiater bisa menggunakan BPJS. Setelah aku googling, memang bisa. Berikut langkah-langkahnya.. Pertama, pastikan dulu kita sudah terdaftar sebagai peserta BPJS aktif, tidak ada tunggakan iuran. Lalu untuk bisa berobat ke psikiater di rumah sakit, kita memerlukan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (Faskes 1). Biasanya faskes 1 ini berupa puskesmas, klinik, atau praktek dokter umum pribadi. Beberapa puskesmas di Jakarta udah tersedia Poli Jiwa yang ada psikolognya, memang bukan dokter, tapi untuk kasus yang masih bisa ditangani tanpa obat, alangkah baik jika melakukan konseling dulu dengan psikolog di puskesmas, gratis (jika faskes 1 kita di situ). Kalo yang di faskes 1 nya gak ada poli jiwa, gimana? maka harus minta rujukan untuk ke rumah
Recent posts

My Mental Health Journey [Part 5]: Tentang Borderline Personality Disorder

Tiga bulan berlalu setelah sesi konseling dengan psikolog lewat aplikasi Riliv. Tepatnya 17 Juli 2020, aku memutuskan kembali berkonsultasi dengan profesional. Saat itu Kinan sudah berusia dua tahun dua bulan. Aku mencoba konseling lewat aplikasi Grab, melalui fitur GrabHealth, untuk konsultasi dengan psikiater (lagi). Biayanya jauh lebih terjangkau dibanding aplikasi sebelumnya, untuk sekali sesi hanya bayar sebesar Rp. 25.000,- dengan durasi konseling satu jam. Harapanku dengan melakukan konseling ini adalah untuk lebih memahami apa yang salah dan langkah apa yang harus kuambil selanjutnya. Syukurnya di sesi konseling kali ini seperti mendapat pencerahan tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku, penjelasannya sangat masuk akal. Sebelum mulai konsultasi, aku sebagai klien harus menceritakan secara singkat masalah apa yang sedang dihadapi. Aku bercerita selama menjadi ibu rasanya sering sedih berkepanjangan, bahkan ada titik dimana rasanya tidak ingin hidup lama-lama. Waktu anak be

My Mental Health Journey [Part 4]: Coba Aplikasi Riliv

Sebulan setelah konsultasi dengan psikiater lewat aplikasi Halodoc dan didiagnosis gejala depresi, aku  mencoba konsultasi lagi dengan psikolog di aplikasi Riliv. Kenapa mau coba aplikasi ini? Sebetulnya karena setelah baca review teman yang sudah pernah mencoba yang katanya bagus, cukup bikin lega, jadi aku penasaran ingin coba. Aplikasi ini memungkinkan kita sebagai klien untuk melakukan konseling berbayar dengan profesional (khusus  psikolog ) yang tersedia dalam berbagai pilihan paket. Selain itu, Riliv juga menyediakan fitur lain seperti latihan meditasi, daily journal, dan berbagai artikel yang berhubungan dengan kesehatan mental. Untuk konseling  via teks , ada  Paket Perkenalan  dengan biaya Rp. 100.000,- per sesi berdurasi 60 menit (masa berlaku satu minggu), ini direkomendasikan untuk  First Timer .  Lalu ada  Paket Lega  dengan biaya Rp. 350.000,- untuk empat kali sesi (masa berlaku satu bulan). Kemudian ada juga  Paket Nyaman  dengan biaya sebesar Rp. 640.000,- untuk dela

My Mental Health Journey [Part 3] : Gejala Depresi

Saran dari psikolog sebelumnya sudah coba ku lakukan, tapi ternyata pada prakteknya tetap saja kurang efektif. Nyatanya aku masih sulit mengendalikan emosi dan sering menangis. Ternyata konsultasi online dengan psikolog masih kurang berpengaruh untukku, entah separah apa kondisi mentalku saat itu. Jadi aku coba untuk konsultasi kembali lewat aplikasi yang sama (Halodoc), tapi kali ini dengan psikiater. Sekitar dua bulan kemudian, yaitu tanggal 8 Maret 2019. Baik psikolog maupun psikiater, keduanya merupakan profesional di bidang kesehatan mental. Psikiater adalah dokter yang mengambil spesialis kesehatan jiwa, sehingga bisa memberikan terapi pengobatan kepada pasiennya. Sedangkan psikolog bukan seorang dokter, lebih fokus pada psikoterapi untuk pemulihan pasiennya. Hal pertama yang aku tanyakan pada psikiater saat itu, apakah kondisi mental ibu hamil saat mengandung anak dapat mempengaruhi janin? Mempengaruhi karakter anak yang dilahirkan nantinya. Jawabannya ternyata bisa, tapi bu

My Mental Health Journey [Part 2] : Pertama Konsultasi ke Profesional

Langkah awal yang ku ambil untuk mendapat bantuan profesional dilakukan dengan konsultasi melalui aplikasi Halodoc dengan seorang psikolog klinis. Tepatnya tanggal 14 Januari 2019, Kinan masih berusia 8 bulan. Kira-kira seperti ini percakapanku dengan psikolog saat itu… Aku        : Saya merasa sulit mengontrol emosi di depan anak. Anak saya baru beusia 8 bulan. Rasanya kelakuan yang sebenarnya wajar dilakukan oleh bayi, tapi membuat saya sangat kesal. Sampai banting-banting barang. Saya tahu ini gak baik untuk anak saya. Saya korban perceraian orang tua, sejak umur tiga tahun saya diasuh oleh nenek dari pihak ayah. Sampai saat ini saya gak terlalu dekat dengan ibu kandung. Rasanya gak begitu sayang dengan beliau, karena saya merasa dulunya gak diurusin. Psikolog: Baik. Sebelumnya boleh saya tau harapan ibu dalam melakukan konsultasi ini? A             : Saya perlu arahan apakah sebaiknya saya sudah butuh untuk berobat ke psikiater atau belum P             : Menurut saya

My Mental Health Journey [Part 1] : Deteksi Awal

Gak ingat kapan tepatnya pertama kali menyadari bahwa ada yang salah, kenapa aku gak seperti kebanyakan ibu-ibu normal lain yang merasa bahagia karena punya anak. Kenapa setelah jadi ibu, malah lebih banyak menangis daripada tersenyum apalagi tertawa bahagia?  Aku melahirkan di rumah mertua, gak seperti kebanyakan ibu lain yang  melahirkan anak pertamanya dekat dengan ibu kandungnya. Mungkin karena dari kecil aku juga gak dekat dengan ibu. Rasanya justru lebih nyaman di tempat mertua daripada di rumah orang tua sendiri. Dua bulan pertama sebagai ibu kulewati di sana, sampai akhirnya kami memutuskan untuk kembali merantau ke Bogor. Bedanya dulu di rumah cuma berdua, sekarang jadi bertiga dengan anggota keluarga baru yaitu si bayi. Bisa dibilang aku gak ada gejala  baby blues  yang parah selama itu. Tapi siapa sangka justru gejala  depresi  yang muncul setelahnya, setelah berbulan-bulan mengurus anak di perantauan hanya dengan suami,  no helper at all .. Yang aku ingat saat itu Kinan mas

Just keep writing!

Hari ini aku mencoba menghidupkan kembali blog yang untuk beberapa saat kemarin sempat mati suri. Ada suatu hal yang memancing reaksiku untuk meng-archive semua postingan di sini. Itu adalah salah satu tindakan impulsif, yaitu bertindak hanya berdasarkan insting. Gak perlu diceritakan sekarang ya alasannya kenapa, mungkin nanti, atau mungkin juga gak akan pernah. Jadi aku gak berhasil ikut challenge dari Blogger Perempuan Network, #BPNRamadan2021 yaitu menulis 30 hari berturut-turut selama bulan Ramadan dengan tema yang sudah ditentukan setiap harinya. Ternyata baru hari ke-tujuh, aku sudah menyerah. Padahal tema-temanya termasuk ringan, cocok buat konten di blog pemula kayak aku begini. Mungkin nanti kalo moodku sedang mendukung tetap bakal nulis mengambil tema dari challenge itu:)) biarkan semua tulisan ini jadi bukti jejak proses menulisku dari yang amatir sampai (semoga bisa) lebih pro nanti. Tiba-tiba sore tadi muncul keinginan untuk menulis. Memang beda rasanya ketika yang salah