Skip to main content

Pengalaman ke Psikiater dengan BPJS

 Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, jika ada kesalahan mohon dikoreksi ya..

Di postinganku sebelumnya (My Mental Health Journey Part 5), kata psikiater yang kuajak konsul online saat itu bilang kalo berobat kesehatan jiwa ke psikiater bisa menggunakan BPJS. Setelah aku googling, memang bisa. Berikut langkah-langkahnya..

Pertama, pastikan dulu kita sudah terdaftar sebagai peserta BPJS aktif, tidak ada tunggakan iuran. Lalu untuk bisa berobat ke psikiater di rumah sakit, kita memerlukan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (Faskes 1). Biasanya faskes 1 ini berupa puskesmas, klinik, atau praktek dokter umum pribadi. Beberapa puskesmas di Jakarta udah tersedia Poli Jiwa yang ada psikolognya, memang bukan dokter, tapi untuk kasus yang masih bisa ditangani tanpa obat, alangkah baik jika melakukan konseling dulu dengan psikolog di puskesmas, gratis (jika faskes 1 kita di situ). Kalo yang di faskes 1 nya gak ada poli jiwa, gimana? maka harus minta rujukan untuk ke rumah sakit.

Nah, minta rujukannya ini bisa langsung dikasih atau enggak? Tergantung dokter di faskes 1 nya. Menurut pengalamanku dulu ketika pertama kali minta rujukan di faskes 1 (saat itu faskes 1 ku di salah satu klinik di daerah Bogor Selatan), gak dikasih:") Padahal udah ngerasa butuh banget. Saat itu aku menceritakan tentang apa yang kurasakan selama jadi ibu. Sambil gendong bayi, sambil nangis sesenggukan. Cerita juga tentang background keluargaku yang patah, masa kecilku gimana, remaja gimana. Tapi saat itu dokternya bilang, "Nanti kalo ke psikiater bakal dikasih obat, coba ke psikolog aja, tapi gak bisa pake BPJS ya", dan lebih banyak dinasehati aja betapa harus sabarnya menjadi seorang ibu. Sayangnya nasehat dokter yang juga seorang ibu itu sama sekali gak masuk di kepalaku. Karena emang lagi ada yang salah dalam diriku. Akhirnya aku pulang jalan kaki sambil masih nangis gendong anak, sampe rumah rasanya kesel, langsung ku sobek-sobek kartu anggota di klinik faskes 1 tersebut. Hahaha.. salah satu perilaku impulsifku muncul.

Kemudian muncul pandemi.. Awal-awal pandemi gak berani ke klinik apalagi rumah sakit, lalu gak sengaja lihat di rumah sakit dekat rumah ada layanan telemedicine. Bisa konsultasi dari rumah lewat aplikasi Google Meet dan kalo diperlukan juga akan diresepkan obat yang diantar via ojek online. Akhirnya coba pertama kali konsultasi langsung (eh, apa gak langsung ya? kan online, haha) ke psikiater di rumah sakit terdekat. Tapi bayar pribadi, bukan pake BPJS. Saat itu (November 2020) biaya konsultasinya Rp. 170.000,- dan obat satu macam untuk sebulan Rp. 45.000,- diminum dua hari sekali, atau selang seling sehari minum, sehari enggak. 

Tiga bulan kemudian aku pindah rumah karena kontrakan habis, jauh dari rumah sakit sebelumnya. Akhirnya diputuskan untuk melanjutkan berobat ke rumah sakit yang paling dekat dengan rumah baru. Kali ini mau mencoba lagi pake BPJS, otomatis juga udah ganti faskes 1 dong. Tetap di klinik, bukan puskesmas atau dokter praktek pribadi. Aku lebih suka faskes 1 nya di klinik karena waktu bukanya yang biasanya lebih fleksibel, gak harus pagi-pagi banget kayak di puskesmas.

Klinik faskes 1 terbaru ini merupakan jaringan yang punya beberapa cabang di berbagai tempat. Awalnya aku nanya dulu via chat, apa bisa minta rujukan ke psikiater karena sebelumnya udah ada riwayat berobat? Ternyata bisa. Waktu aku datang langsung ke kliniknya untuk minta rujukan, prosesnya gak lama. Aku bilang mau minta rujukan ke psikiater, lalu ditanya sama dokternya, "Sekarang apa yang dirasa?" dan diminta tunjukkan surat periksa sebelumnya (yang untungnya sempat ku foto, ada diagnosanya tertulis di situ). Lalu terbitlah surat rujukan ke rumah sakit terdekat..

Besoknya aku baru sempat ke rumah sakit, jangan lupa persiapkan fotokopi KTP, kartu JKN / BPJS, dan surat rujukannya. Cari tau dulu sebelumnya sistem di rumah sakitnya gimana. Kalo di RS tempatku berobat ini, gak harus datang dari pagi banget buat peserta BPJS. Misal dokternya baru praktek jam 4 sore, maka satu jam sebelumnya baru bisa masuk pendaftaran. Setelah antri di pendaftaran, antri di poli jiwa, konsultasi, tunggu resep, tunggu obat, selesai! hehe belum ding. Obatnya kurang, jadi harus ambil di apotek di luar RS, ngantri lagi, tapi tetap gratis waktu pengobatan pertama. Kalo kedua dan ketiga ada sebagian yang bayar karena di apotek yang ditunjuk RS itu juga obatnya habis, jadi harus beli di apotek lain. Di sini aku salah milih RS sih, harusnya ke RS yang gak kerjasama sama apotek di luar. Jadi cari yang obat-obatannya udah tersedia di RS semua. 

Kalo udah tiga kali konsultasi di RS, harus balik lagi ke faskes 1 untuk minta surat rujukan lanjutan. Pas banget minggu kemarin aku baru minta surat rujuk balik karena pengobatan masih harus dilanjutkan. Kali ini aku bertemu dengan dokter jaga di faskes 1 yang baik sekali dan sangat memahami. Aku gak perlu cerita banyak, tapi dokternya bilang, "Ada trauma ya Bu? Gak apa-apa lho berobat. Justru harus diobati ya, Bu. Semua orang punya trauma masing-masing, saya juga punya. Kalo udah gak sanggup menghadapi sendiri ya harus minta bantuan yang ahli di bidangnya. Sakit gigi berobat ke dokter gigi, sakit jantung ke spesialis jantung. Berobatlah untuk ketenangan diri sendiri, supaya ngerasa lebih baik, lebih semangat hidupnya" :) Langsung tersenyum aku di balik masker. Terima kasih untuk supportnya, dok.

Jadi begitulah pengalamanku ke psikiater menggunakan BPJS. Pernah ditolak di faskes 1 saat minta rujukan, akhirnya nyoba bayar pribadi dulu, lalu coba minta rujukan lagi di faskes yang berbeda dengan menunjukan bahwa sebelumnya sudah ada riwayat berobat, sampe akhirnya ketemu dokter di faskes 1 yang mendukung pengobatan kesehatan jiwa. Jadi buat dapetin surat rujukan ke psikiater di rumah sakit pake BPJS tergantung dokter di faskes 1 nya, ya.. apakah dokternya "melek" tentang mental health atau enggak. Karena menurut pengalamanku, masih ada ternyata dokter umum yang masih belum terbuka dengan kesehatan jiwa..

Mungkin ada sedikit tips, kalo ada yang faskes 1 nya gak mau ngasih rujukan juga tapi gak mau konsul langsung bayar pribadi, bisa coba konsul dulu dengan psikiater online yang biayanya jauh lebih terjangkau dibanding dengan konsul ke RS langsung bayar pribadi. Nanti kalo emang dibutuhkan, pasti akan disarankan untuk berobat ke psikiater terdekat kok. Nah, bukti chat nya bisa ditunjukkan saat minta surat rujukan dari faskes 1, sebagai penguat / pendukung bahwa kita memang butuh berobat..

Semangat menjaga kewarasan, teman-teman!

Popular posts from this blog

My Mental Health Journey [Part 2] : Pertama Konsultasi ke Profesional

Langkah awal yang ku ambil untuk mendapat bantuan profesional dilakukan dengan konsultasi melalui aplikasi Halodoc dengan seorang psikolog klinis. Tepatnya tanggal 14 Januari 2019, Kinan masih berusia 8 bulan. Kira-kira seperti ini percakapanku dengan psikolog saat itu… Aku        : Saya merasa sulit mengontrol emosi di depan anak. Anak saya baru beusia 8 bulan. Rasanya kelakuan yang sebenarnya wajar dilakukan oleh bayi, tapi membuat saya sangat kesal. Sampai banting-banting barang. Saya tahu ini gak baik untuk anak saya. Saya korban perceraian orang tua, sejak umur tiga tahun saya diasuh oleh nenek dari pihak ayah. Sampai saat ini saya gak terlalu dekat dengan ibu kandung. Rasanya gak begitu sayang dengan beliau, karena saya merasa dulunya gak diurusin. Psikolog: Baik. Sebelumnya boleh saya tau harapan ibu dalam melakukan konsultasi ini? A             : Saya perlu arahan apakah sebaiknya saya sudah butuh untuk berobat ke psikiater atau belum P             : Menurut saya

My Mental Health Journey [Part 1] : Deteksi Awal

Gak ingat kapan tepatnya pertama kali menyadari bahwa ada yang salah, kenapa aku gak seperti kebanyakan ibu-ibu normal lain yang merasa bahagia karena punya anak. Kenapa setelah jadi ibu, malah lebih banyak menangis daripada tersenyum apalagi tertawa bahagia?  Aku melahirkan di rumah mertua, gak seperti kebanyakan ibu lain yang  melahirkan anak pertamanya dekat dengan ibu kandungnya. Mungkin karena dari kecil aku juga gak dekat dengan ibu. Rasanya justru lebih nyaman di tempat mertua daripada di rumah orang tua sendiri. Dua bulan pertama sebagai ibu kulewati di sana, sampai akhirnya kami memutuskan untuk kembali merantau ke Bogor. Bedanya dulu di rumah cuma berdua, sekarang jadi bertiga dengan anggota keluarga baru yaitu si bayi. Bisa dibilang aku gak ada gejala  baby blues  yang parah selama itu. Tapi siapa sangka justru gejala  depresi  yang muncul setelahnya, setelah berbulan-bulan mengurus anak di perantauan hanya dengan suami,  no helper at all .. Yang aku ingat saat itu Kinan mas