Skip to main content

My Mental Health Journey [Part 3] : Gejala Depresi

Saran dari psikolog sebelumnya sudah coba ku lakukan, tapi ternyata pada prakteknya tetap saja kurang efektif. Nyatanya aku masih sulit mengendalikan emosi dan sering menangis. Ternyata konsultasi online dengan psikolog masih kurang berpengaruh untukku, entah separah apa kondisi mentalku saat itu. Jadi aku coba untuk konsultasi kembali lewat aplikasi yang sama (Halodoc), tapi kali ini dengan psikiater. Sekitar dua bulan kemudian, yaitu tanggal 8 Maret 2019.

Baik psikolog maupun psikiater, keduanya merupakan profesional di bidang kesehatan mental. Psikiater adalah dokter yang mengambil spesialis kesehatan jiwa, sehingga bisa memberikan terapi pengobatan kepada pasiennya. Sedangkan psikolog bukan seorang dokter, lebih fokus pada psikoterapi untuk pemulihan pasiennya.

Hal pertama yang aku tanyakan pada psikiater saat itu, apakah kondisi mental ibu hamil saat mengandung anak dapat mempengaruhi janin? Mempengaruhi karakter anak yang dilahirkan nantinya. Jawabannya ternyata bisa, tapi bukan berarti pasti 100% akan berdampak ke karakter anak.

Kemudian aku bercerita tentang latar belakang keluargaku yang berpisah sejak usiaku balita. Bahwa aku pernah jadi anak yang tak diinginkan kehadirannya oleh ibu kandungku sendiri. Karena ketika aku masih di kandungan, katanya bapak di-PHK. Sedangkan sebelumnya orang tuaku sudah punya anak tiga. Jelas keberadaanku tak diharapkan. Aku cerita tentang self harm yang sempat ku lakukan saat remaja. Tentang sulitnya mengatur emosi saat itu (saat anakku berusia 10 bulan), sampai aku sering menangis dan memukul dada sendiri saking kesalnya jika anakku susah makan.

Lalu psikiater tersebut menanyakan beberapa hal:

1.       Apakah dalam sebulan terakhir ini ada rasa sedih atau hampa berkepanjangan?

2.       Apakah disertai hilang minat atau malas beraktivitas?

3.       Apakah terjadi perubahan pola makan dan pola tidur?

4.       Apakah ada penurunan konsentrasi?

5.       Apakah ada rasa kurang percaya diri?

6.       Apakah akhir-akhir ini ada rasa putus asa?

Seingatku, yang ku rasakan saat itu memang lebih banyak sedihnya, sering menangis tiba-tiba sampai susah untuk berhenti. Hilang minat dan malas beraktivitas jelas sekali terasa. Setiap bangun pagi yang diinginkan adalah agar segera kembali ke malam lagi. Bahkan nafsu makan juga berkurang, padahal saat itu aku masih menyusui. Penurunan konsentrasi juga ada, seperti ketika berjalan di dalam rumah, kakiku sering menabrak tembok atau meja, dan sering sekali menumpahkan air minum. Selain itu juga aku merasa minder. Apalagi jika bertemu dengan teman-teman kuliah yang sudah bekerja dimana-mana, meniti karirnya masing-masing, sedangkan aku setiap hari hanya mengurus anak sendirian di rumah. Terjebak dengan aktivitas yang sama. Gak bisa bergerak kemana-mana. Rasanya mungkin hampir putus asa, jika bisa menyerah, aku ingin menyerah saja..

Setelah itu dokter menyimpulkan bahwa apa yang aku alami saat itu adalah gejala depresi. Sebaiknya aku melakukan konsultasi dengan psikiater secara langsung agar depresinya bisa tertangani dengan baik. Selesai. Sangat padat dan jelas. Tapi tidak melegakkan untukku.

 

((bersambung..))

Popular posts from this blog

Pengalaman ke Psikiater dengan BPJS

 Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, jika ada kesalahan mohon dikoreksi ya.. Di postinganku sebelumnya ( My Mental Health Journey Part 5 ), kata psikiater yang kuajak konsul online saat itu bilang kalo berobat kesehatan jiwa ke psikiater bisa menggunakan BPJS. Setelah aku googling, memang bisa. Berikut langkah-langkahnya.. Pertama, pastikan dulu kita sudah terdaftar sebagai peserta BPJS aktif, tidak ada tunggakan iuran. Lalu untuk bisa berobat ke psikiater di rumah sakit, kita memerlukan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (Faskes 1). Biasanya faskes 1 ini berupa puskesmas, klinik, atau praktek dokter umum pribadi. Beberapa puskesmas di Jakarta udah tersedia Poli Jiwa yang ada psikolognya, memang bukan dokter, tapi untuk kasus yang masih bisa ditangani tanpa obat, alangkah baik jika melakukan konseling dulu dengan psikolog di puskesmas, gratis (jika faskes 1 kita di situ). Kalo yang di faskes 1 nya gak ada poli jiwa, gimana? maka harus minta rujukan untuk ke ru...

My Mental Health Journey [Part 2] : Pertama Konsultasi ke Profesional

Langkah awal yang ku ambil untuk mendapat bantuan profesional dilakukan dengan konsultasi melalui aplikasi Halodoc dengan seorang psikolog klinis. Tepatnya tanggal 14 Januari 2019, Kinan masih berusia 8 bulan. Kira-kira seperti ini percakapanku dengan psikolog saat itu… Aku        : Saya merasa sulit mengontrol emosi di depan anak. Anak saya baru beusia 8 bulan. Rasanya kelakuan yang sebenarnya wajar dilakukan oleh bayi, tapi membuat saya sangat kesal. Sampai banting-banting barang. Saya tahu ini gak baik untuk anak saya. Saya korban perceraian orang tua, sejak umur tiga tahun saya diasuh oleh nenek dari pihak ayah. Sampai saat ini saya gak terlalu dekat dengan ibu kandung. Rasanya gak begitu sayang dengan beliau, karena saya merasa dulunya gak diurusin. Psikolog: Baik. Sebelumnya boleh saya tau harapan ibu dalam melakukan konsultasi ini? A             : Saya perlu arahan apakah sebaiknya s...

My Mental Health Journey [Part 5]: Tentang Borderline Personality Disorder

Tiga bulan berlalu setelah sesi konseling dengan psikolog lewat aplikasi Riliv. Tepatnya 17 Juli 2020, aku memutuskan kembali berkonsultasi dengan profesional. Saat itu Kinan sudah berusia dua tahun dua bulan. Aku mencoba konseling lewat aplikasi Grab, melalui fitur GrabHealth, untuk konsultasi dengan psikiater (lagi). Biayanya jauh lebih terjangkau dibanding aplikasi sebelumnya, untuk sekali sesi hanya bayar sebesar Rp. 25.000,- dengan durasi konseling satu jam. Harapanku dengan melakukan konseling ini adalah untuk lebih memahami apa yang salah dan langkah apa yang harus kuambil selanjutnya. Syukurnya di sesi konseling kali ini seperti mendapat pencerahan tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku, penjelasannya sangat masuk akal. Sebelum mulai konsultasi, aku sebagai klien harus menceritakan secara singkat masalah apa yang sedang dihadapi. Aku bercerita selama menjadi ibu rasanya sering sedih berkepanjangan, bahkan ada titik dimana rasanya tidak ingin hidup lama-lama. Waktu anak be...