Skip to main content

Cocoklogi

Oktober 2020 lalu ada tiga momen yang berdekatan dan rasanya agak berhubungan, ada benang merahnya gitu. Apa sajakah?

Pertama, memperingati hari kesehatan mental sedunia yg jatuh setiap 7 Oktober, salah satu platform layanan yang menyediakan jasa konsultasi daring dengan psikolog profesional mengajak untuk saya berkolaborasi. Saya bersama beberapa orang lain ditugaskan untuk membuat konten video dengan menjawab beberapa pertanyaan yang berhubungan tentang menjaga kesehatan mental di era pandemi Covid19. Kemudian video-video kami dikompilasi dan diunggah di akun YouTube layanan jasa tersebut. Sebelumnya saya memang pernah mendaftar jadi volunteer #PejuangKesehatanMental di situ sih.

Kedua, saya menang giveaway dari dokter Jiemi Ardian SpKj, dapat tiket bincang buku bersama Baek Se Hee, penulis buku best seller asal Korea Selatan. Judul bukunya "I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki". Aslinya untuk ikut acara itu bayar tiket seratus ribu. Kan lumayan ya, dapat ilmu gratis. Acaranya juga menginspirasi saya untuk rajin menulis, siapa tau nanti bisa kayak miss Baek Se Hee sampe menerbitkan buku. Penulisnya ini adalah seorang penyintas distimia (depresi menahun). Yang kemudian membagikan kisahnya menuju pulih lewat tulisan.

Ketiga, waktu ikut webinar gratis dari RSJ Menur - Surabaya, acara bedah buku self healing karya psikolog Danang Baskoro MPsi, iseng-iseng saya ikutan nanya. Eh ternyata pertanyaan saya dibacakan sama moderatornya, lalu dapat pulsa 50ribu. Jadi berasa dikasih kompensasi karena belajar tentang mental health kan... Hehe.

Dari ketiga momen itu ada satu kesamaan, yaitu selalu berhubungan dengan kesehatan mental. Di bulan yang sama pula, saya memutuskan untuk melakukan telemedicine dengan psikiater di rumah sakit terdekat. Mengikuti saran dari psikiater ke sekian kalinya yang saya chat di sebuah aplikasi. Karena sudah harus dibantu obat, katanya. Tapi berhubung pandemi, dan punya balita yang gak bisa dititipkan ke orang lain selama ibunya ke RS, kan agak riskan kalau dibawa, jadi ya udah coba telemedicine aja. 

Tapi ternyata, kebetulan sekali dokternya pas lagi sakit, cuti sampai dua minggu. Akhirnya baru bisa terlaksana konsultasi via Google Meet di awal November. Lalu berlanjut sebulan kemudian di Desember. Harusnya Januari juga konsul lagi, tapi waktu itu ternyata saya mudik ke rumah mertua sampe dua minggu. Jadi jadwalnya ngaret dari yang seharusnya.

Nah, waktu lagi mudik di pertengahan Januari 2021 ini saya dapat kesempatan buat ikut dua event antologi (buku kumpulan cerita dari beberapa penulis). Yang pertama judulnya, "Refleksi Diri". Isinya tentang perjalanan di tahun yang telah terlewati dan harapan di tahun yang baru. Yang kedua judulnya, "Ada Maaf Untukmu, Ibu". Isinya lebih seperti writing to healing, ya. Menulis hingga rilis luka batin inner child. Apa itu inner child? Nanti kayanya harus bikin tulisan khusus untuk membahas inner child saya ini. Tapi gak sekarang. 

Kedua antologi itu sama-sama dateline-nya di Januari, eh tiba-tiba di bulan yang sama saya dapat pesan WhatsApp yang isinya semacam promosi untuk kelas menulis gitu. Nanti dibimbing sampai bisa menulis buku solo (tentunya berbayar). Jadi saya gak ikutan. Haha. Sebuah pertanda kah biar saya lebih rajin menulis? Selama ini memang kadang suka nulis curhat di caption Instagram, iseng aja. Karena dasarnya emang saya suka sharing. Pengen banget bisa rutin menulis.

Tapi masih maju-mundur, maju-mundur buat memulai. Memang ya, first step is the hardest. Bingung mau nulis dimana. Eh gak berasa kok tau-tau udah masuk Maret aja.. Kalo kebanyakan mikir nanti yang ada malah gak jadi-jadi. So, inilah tulisan pertama di blog yang masih sangat alakadarnya. Semoga bisa ada manfaatnya ya dari menulis, kalo gak buat orang lain, minimal buat diri sendiri jadi lebih lega.

Popular posts from this blog

Pengalaman ke Psikiater dengan BPJS

 Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, jika ada kesalahan mohon dikoreksi ya.. Di postinganku sebelumnya ( My Mental Health Journey Part 5 ), kata psikiater yang kuajak konsul online saat itu bilang kalo berobat kesehatan jiwa ke psikiater bisa menggunakan BPJS. Setelah aku googling, memang bisa. Berikut langkah-langkahnya.. Pertama, pastikan dulu kita sudah terdaftar sebagai peserta BPJS aktif, tidak ada tunggakan iuran. Lalu untuk bisa berobat ke psikiater di rumah sakit, kita memerlukan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (Faskes 1). Biasanya faskes 1 ini berupa puskesmas, klinik, atau praktek dokter umum pribadi. Beberapa puskesmas di Jakarta udah tersedia Poli Jiwa yang ada psikolognya, memang bukan dokter, tapi untuk kasus yang masih bisa ditangani tanpa obat, alangkah baik jika melakukan konseling dulu dengan psikolog di puskesmas, gratis (jika faskes 1 kita di situ). Kalo yang di faskes 1 nya gak ada poli jiwa, gimana? maka harus minta rujukan untuk ke rumah

My Mental Health Journey [Part 2] : Pertama Konsultasi ke Profesional

Langkah awal yang ku ambil untuk mendapat bantuan profesional dilakukan dengan konsultasi melalui aplikasi Halodoc dengan seorang psikolog klinis. Tepatnya tanggal 14 Januari 2019, Kinan masih berusia 8 bulan. Kira-kira seperti ini percakapanku dengan psikolog saat itu… Aku        : Saya merasa sulit mengontrol emosi di depan anak. Anak saya baru beusia 8 bulan. Rasanya kelakuan yang sebenarnya wajar dilakukan oleh bayi, tapi membuat saya sangat kesal. Sampai banting-banting barang. Saya tahu ini gak baik untuk anak saya. Saya korban perceraian orang tua, sejak umur tiga tahun saya diasuh oleh nenek dari pihak ayah. Sampai saat ini saya gak terlalu dekat dengan ibu kandung. Rasanya gak begitu sayang dengan beliau, karena saya merasa dulunya gak diurusin. Psikolog: Baik. Sebelumnya boleh saya tau harapan ibu dalam melakukan konsultasi ini? A             : Saya perlu arahan apakah sebaiknya saya sudah butuh untuk berobat ke psikiater atau belum P             : Menurut saya

My Mental Health Journey [Part 1] : Deteksi Awal

Gak ingat kapan tepatnya pertama kali menyadari bahwa ada yang salah, kenapa aku gak seperti kebanyakan ibu-ibu normal lain yang merasa bahagia karena punya anak. Kenapa setelah jadi ibu, malah lebih banyak menangis daripada tersenyum apalagi tertawa bahagia?  Aku melahirkan di rumah mertua, gak seperti kebanyakan ibu lain yang  melahirkan anak pertamanya dekat dengan ibu kandungnya. Mungkin karena dari kecil aku juga gak dekat dengan ibu. Rasanya justru lebih nyaman di tempat mertua daripada di rumah orang tua sendiri. Dua bulan pertama sebagai ibu kulewati di sana, sampai akhirnya kami memutuskan untuk kembali merantau ke Bogor. Bedanya dulu di rumah cuma berdua, sekarang jadi bertiga dengan anggota keluarga baru yaitu si bayi. Bisa dibilang aku gak ada gejala  baby blues  yang parah selama itu. Tapi siapa sangka justru gejala  depresi  yang muncul setelahnya, setelah berbulan-bulan mengurus anak di perantauan hanya dengan suami,  no helper at all .. Yang aku ingat saat itu Kinan mas