Skip to main content

Anak Tangga [Day 4] #BPNRamadan2021

Tema di hari keempat ini, yaitu “pencapaian tertinggi dalam hidupmu”, memanggil kembali ingatanku beberapa tahun lalu saat menulis essay dengan tema serupa. Judulnya “Sukses terbesar dalam hidupku”, sebagai salah satu syarat untuk mengikuti seleksi beasiswa pascasarjana dari LPDP (Lembaga Pengelola Dana Keuangan), Kementerian Keuangan. Dua kali mendaftar di dua tahun berturut-turut, tapi ternyata belum ada rejekiku di sana.

Sebagai fresh graduated saat itu, yang kuanggap sukses terbesar adalah ketika berhasil lulus sebagai sarjana pertama di keluarga inti dengan beasiswa penuh. Aku terlahir di keluarga yang berpisah, sejak umur tiga tahun  aku tinggal bersama nenek-kakek dari pihak ayah. Sebelumnya gak ada rencana untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Setelah lulus SMA maunya langsung kerja aja karena sudah merasa berat duluan memikirkan biayanya. Tapi kemudian beberapa guru di SMA memotivasiku untuk mencoba daftar kuliah dengan beasiswa agar potensi yang kumiliki bisa lebih berkembang. Alhamdulillah aku berhasil mendapat beasiswa Bidik Misi dari pemerintah, dengan fasilitas kuliah gratis dan mendapat uang saku sampai lulus S1 selama empat tahun.

Aku merasa bisa kuliah adalah sebuah privilege. Jika dipikir kembali, aku sangat beruntung bisa mendapatkan kesempatan dan kemudahan untuk menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia. Masuk jurusan yang memang aku minati, dan mampu lulus tepat waktu dengan IPK yang baik. Kesibukan selama kuliah baik akademis maupun organisasi membuatku merasa berdaya. Rasanya masa-masa kuliah adalah masa terindah dalam hidupku. Pengalaman selama kuliah sangat membantuku mengembangkan diri, memperluas sudut pandang karena berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai daerah, serta turut membentuk pola pikirku sekarang. Tapi aku belum puas, karena sesungguhnya kesuksesan tersebut hanyalah anak tangga untuk menuju kesuksesan berikutnya. Makanya aku sempat berminat untuk melanjutkan studi ke S2 dengan beasiswa.

Saat ini aku menunda mimpiku untuk melanjutkan studi karena harus full mengasuh anak di perantauan yang jauh dari keluarga. Kalaupun ada kesempatan untuk kuliah lagi, pasti akan banyak pertimbangan dan tantanganpun meningkat karena waktu dan tenagaku harus terbagi dengan adanya anak. Fokusku saat ini jadi bergeser, jadi lebih berusaha memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak, dibanding mengusahakan pendidikan untukku sendiri. Tapi ternyata menjalani peran ibu di tahun-tahun pertama ini sangat mengubah hidupku, menyadarkanku akan banyak hal.

Ternyata apa yang dialami seseorang di masa kecilnya sangat berpengaruh pada bagaimana kepribadiannya saat dewasa. Sekarang aku bisa bilang, pencapaian tertinggiku saat ini adalah mampu mengurus anak sendiri tanpa bantuan asisten, pengasuh, ataupun orang tua. Dengan minimnya kasih sayang orang tua terutama ibu yang kurasakan dari kecil hingga dewasa, ternyata Allah mampukan aku untuk membesarkan anak hingga ia tumbuh dengan sehat dan ceria. Aku memang bukan ibu yang sempurna, tapi aku berusaha untuk selalu ada untuknya. Meski saat menjalaninya hari-hariku dipenuhi air mata. Dan aku belum juga puas, karena perjalanan sebagai ibu masih sangat panjang. Sepanjang hidup. Selama nafasku masih berhembus.

Aku melewati masa ‘quarter life crysis’ bersamaan dengan maternal depression. Sampai saat ini aku masih berjuang untuk pulih. Mungkin suatu hari nanti aku akan merasa bahwa pencapaian tertinggi dalam hidupku adalah ketika berhasil berdamai dengan diri sendiri dan segala luka di masa lalu. Ketika aku berhasil menerima dan mencintai diri secara utuh, sepaket dengan kelebihan dan kekurangannya.

 

Bogor, 16 April 2021.

Popular posts from this blog

Pengalaman ke Psikiater dengan BPJS

 Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, jika ada kesalahan mohon dikoreksi ya.. Di postinganku sebelumnya ( My Mental Health Journey Part 5 ), kata psikiater yang kuajak konsul online saat itu bilang kalo berobat kesehatan jiwa ke psikiater bisa menggunakan BPJS. Setelah aku googling, memang bisa. Berikut langkah-langkahnya.. Pertama, pastikan dulu kita sudah terdaftar sebagai peserta BPJS aktif, tidak ada tunggakan iuran. Lalu untuk bisa berobat ke psikiater di rumah sakit, kita memerlukan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (Faskes 1). Biasanya faskes 1 ini berupa puskesmas, klinik, atau praktek dokter umum pribadi. Beberapa puskesmas di Jakarta udah tersedia Poli Jiwa yang ada psikolognya, memang bukan dokter, tapi untuk kasus yang masih bisa ditangani tanpa obat, alangkah baik jika melakukan konseling dulu dengan psikolog di puskesmas, gratis (jika faskes 1 kita di situ). Kalo yang di faskes 1 nya gak ada poli jiwa, gimana? maka harus minta rujukan untuk ke ru...

Nama blog-ku terlalu simple [Day-1] #BPNRamadan2021

Emang gak boleh? Gak apa-apa kan ya, terserah kita yang punya. Kenapa namanya amalianadh? Karena mau menyamakan dengan username Instagram yang sudah lebih dulu ada 6 tahun sebelumnya. Iya, aku newbie banget di dunia blogging, baru bikin Maret 2021 ini. Apakah aku ini kurang kreatif karena namanya disama-samain? Bisa jadi emang iya hahaha. Sebetulnya biar lebih gampang diingat aja sih, sekaligus jadi identitas. Nama lengkapku Amalia Nadhilah. Kalo ditulis nama lengkap buat alamat blog akan terlalu panjang, jadi ya sudah dipersingkat untuk nama belakangnya diambil nadh-nya aja. Awalnya sempat mau bikin ‘ self branding’ pake nama anak. BundaKinan, MamaKinan, dsb. Tapi setelah dipikir ulang, aku gak mau kehilangan namaku setelah menjadi ibu. Aku ya tetap aku, dengan namaku sendiri. Punya anak seharusnya gak mengubah identitas dan jati diriku sebelumnya. Selain karena emang namaku bisa disingkat jadi amalianadh, sebetulnya ada hal lain juga yang tersirat di sana. Kalo ditanya pelajaran...

Sharing for healing [Day-2] #BPNRamadan2021

#BPNRamadan 2021 adalah kali ketiga aku mengikuti event menulis 30 hari berturut-turut. Pertama   dan kedua bukan di blog, melainkan Instagram. Karena saat itu belum punya blog. Pertama kali ikut di awal tahun 2019, harusnya bisa selesai di 30 hari pertama bulan januari. Tapi kenyataannya baru selesai di bulan Mei. Karena nulisnya selalu nunggu mood yang mendukung, sedangkan saat itu bisa dibilang lagi di titik terlemahnya aku sebagai ibu baru. Meski sekarang belum pulih sepenuhnya tapi sudah jauh lebih baik. Lalu ikut event menulis yang sama di tahun berikutnya yaitu 2020. Tapi sampai akhir tahun belum selesai juga. Otakku mentok karena dikasih tema melanjutkan cerita fiksi. Sedangkan aku kalo nulis ya isinya cuma curhat semua, non fiksi. Sekarang mau coba ikut, karena waktu liat tema di dua hari pertama ini nampak cocok untuk dimasukkan ke blog alakadarku yang sebelumnya baru berisi dua tulisan. Semoga bisa konsisten sampe akhir bulan Ramadan ini ya nulisnya. Tapi kalo tulisann...