Tema di hari keempat ini, yaitu “pencapaian tertinggi dalam hidupmu”, memanggil kembali ingatanku beberapa tahun lalu saat menulis essay dengan tema serupa. Judulnya “Sukses terbesar dalam hidupku”, sebagai salah satu syarat untuk mengikuti seleksi beasiswa pascasarjana dari LPDP (Lembaga Pengelola Dana Keuangan), Kementerian Keuangan. Dua kali mendaftar di dua tahun berturut-turut, tapi ternyata belum ada rejekiku di sana.
Sebagai fresh graduated saat
itu, yang kuanggap sukses terbesar adalah ketika berhasil lulus sebagai sarjana
pertama di keluarga inti dengan beasiswa penuh. Aku terlahir di keluarga yang berpisah,
sejak umur tiga tahun aku tinggal
bersama nenek-kakek dari pihak ayah. Sebelumnya gak ada rencana untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Setelah lulus SMA maunya langsung
kerja aja karena sudah merasa berat duluan memikirkan biayanya. Tapi kemudian beberapa guru
di SMA memotivasiku untuk mencoba daftar kuliah dengan beasiswa agar potensi
yang kumiliki bisa lebih berkembang. Alhamdulillah aku berhasil mendapat
beasiswa Bidik Misi dari pemerintah, dengan fasilitas kuliah gratis dan
mendapat uang saku sampai lulus S1 selama empat tahun.
Aku merasa bisa kuliah adalah
sebuah privilege. Jika dipikir kembali, aku sangat beruntung bisa mendapatkan
kesempatan dan kemudahan untuk menempuh pendidikan di salah satu perguruan
tinggi negeri terbaik di Indonesia. Masuk jurusan yang memang aku minati, dan
mampu lulus tepat waktu dengan IPK yang baik. Kesibukan selama kuliah
baik akademis maupun organisasi membuatku merasa berdaya. Rasanya masa-masa kuliah adalah masa terindah dalam hidupku. Pengalaman selama
kuliah sangat membantuku mengembangkan diri, memperluas sudut pandang karena berinteraksi
dengan banyak orang dari berbagai daerah, serta turut membentuk pola pikirku
sekarang. Tapi aku belum puas, karena sesungguhnya kesuksesan tersebut hanyalah anak tangga untuk menuju kesuksesan berikutnya. Makanya aku sempat berminat untuk melanjutkan studi ke S2 dengan beasiswa.
Saat ini aku menunda mimpiku
untuk melanjutkan studi karena harus full mengasuh anak di perantauan yang
jauh dari keluarga. Kalaupun ada kesempatan untuk kuliah lagi, pasti akan
banyak pertimbangan dan tantanganpun meningkat karena waktu dan tenagaku harus terbagi
dengan adanya anak. Fokusku saat ini jadi bergeser, jadi lebih berusaha memberikan pendidikan
yang terbaik untuk anak, dibanding mengusahakan pendidikan untukku sendiri. Tapi
ternyata menjalani peran ibu di tahun-tahun pertama ini sangat mengubah hidupku,
menyadarkanku akan banyak hal.
Ternyata apa yang dialami
seseorang di masa kecilnya sangat berpengaruh pada bagaimana kepribadiannya
saat dewasa. Sekarang aku bisa bilang, pencapaian tertinggiku saat ini adalah
mampu mengurus anak sendiri tanpa bantuan asisten, pengasuh, ataupun orang tua.
Dengan minimnya kasih sayang orang tua terutama ibu yang kurasakan dari kecil
hingga dewasa, ternyata Allah mampukan aku untuk membesarkan anak hingga ia
tumbuh dengan sehat dan ceria. Aku memang bukan ibu yang sempurna, tapi aku
berusaha untuk selalu ada untuknya. Meski saat menjalaninya hari-hariku dipenuhi
air mata. Dan aku belum juga puas, karena perjalanan sebagai ibu masih sangat
panjang. Sepanjang hidup. Selama nafasku masih berhembus.
Aku melewati masa ‘quarter life crysis’ bersamaan dengan maternal depression. Sampai saat ini aku masih berjuang untuk pulih. Mungkin suatu hari nanti aku akan merasa bahwa pencapaian tertinggi dalam hidupku adalah ketika berhasil berdamai dengan diri sendiri dan segala luka di masa lalu. Ketika aku berhasil menerima dan mencintai diri secara utuh, sepaket dengan kelebihan dan kekurangannya.
Bogor, 16 April 2021.