Skip to main content

Harapan terbesar untuk blog ini [Day-3] #BPNRamadan2021

Bulan Oktober 2020 lalu aku sempat ikut give away di akun instagram dr. Jiemi Ardian SpKj. Hadiahnya berupa 10 buah tiket untuk mengikuti sebuah acara virtual “Bincang bareng Baek Se Hee”, penulis asal Korea Selatan. Ia adalah seorang penyintas distimia (depresi minor menahun) yang membagikan cerita perjalanannya menuju pulih lewat tulisan di blog dan kemudian akhirnya diterbitkan sebagai buku. Bukunya berjudul ‘I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki’. Harga asli tiketnya sebesar seratus ribu rupiah. Syarat untuk ikut give away dari dokter Jiemi adalah dengan memberi alasan mengapa layak mendapatkan tiket untuk acara tersebut.

Waktu itu aku bercerita di komentar postingan dokter Jiemi, bahwa beberapa bulan lalu saat konsultasi online dengan psikiater, aku didiagnosis depresi dan BPD (borderline personality disorder) atau gangguan kepribadian ambang. Disarankan untuk segera konsultasi langsung ke psikiater terdekat karena sudah harus dibantu obat. Tapi karena masih pandemi, rasanya agak riskan untuk konsul langsung ke rumah sakit. Apalagi aku punya balita yang pasti akan ikut kemana-mana karena gak ada yang bisa dititipkan di rumah. Aku berencana untuk menuliskan kisahku sebagai ibu dengan masalah kesehatan mental di blog, tentang bagaimana aku menjalani hidup sehari-hari, dan bagaimana aku berusaha berdamai dengan kondisi ini. Alhamdulillah, aku mendapat kesempatan untuk mengikuti acara bincang buku itu, gratis.

Miss Baek Se Hee bercerita tentang awal mula ia memutuskan untuk membagikan kisah perjalanan menuju kesembuhan mentalnya di blog. Awalnya ia penasaran dengan cerita orang-orang yang mengalami pengobatan kesehatan mental. Ia kemudian meminta izin pada psikiaternya untuk merekam audio setiap sesi pertemuan untuk selanjutnya ia dengarkan kembali di rumah dan ditulis dalam blognya. Ternyata  lewat blogging, ia menemukan tempat untuk saling sharing dengan orang yang memiliki pengalaman serupa. Ia merasa terhibur dan bersemangat ketika membaca komentar yang mendukung. Meskipun ada saja komentar negatif, tapi yang membuatnya tetap menulis adalah kenyataan bahwa tulisannya dibutuhkan oleh banyak orang di luar sana, bahkan sampai menyelamatkan nyawa.

Tentunya banyak yang aku harapkan dari kegiatan menulis blog ini. Dari yang sederhana sampai luar biasa. Aku berharap bisa lebih mengenal diri sendiri lewat tulisan. Aku juga ingin menambah relasi baru dengan aktivitas bloggingserta bisa meluruskan stigma negatif di kebanyakan masyarakat saat ini tentang orang dengan mental health issue. Miss Baek Se Hee jadi inspirasi untukku. Salah satu mimpiku yang rasanya saat ini masih sangat jauh untuk diraih adalah menerbitkan buku sendiri (selain antologi). Aku sadar masih banyak keterbatasan yang menghalangiku untuk mewujudkan mimpi itu. Apakah berlebihan jika aku berharap suatu saat juga bisa menerbitkan buku dari blog ini? :”) Akupun berharap kelak bisa menemukan orang-orang dengan pengalaman yang sama di sini. Yang kemudian bisa memberi dukungan untuk saling menguatkan lewat tulisan.

 

Bogor,15 April 2021.


Popular posts from this blog

Pengalaman ke Psikiater dengan BPJS

 Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, jika ada kesalahan mohon dikoreksi ya.. Di postinganku sebelumnya ( My Mental Health Journey Part 5 ), kata psikiater yang kuajak konsul online saat itu bilang kalo berobat kesehatan jiwa ke psikiater bisa menggunakan BPJS. Setelah aku googling, memang bisa. Berikut langkah-langkahnya.. Pertama, pastikan dulu kita sudah terdaftar sebagai peserta BPJS aktif, tidak ada tunggakan iuran. Lalu untuk bisa berobat ke psikiater di rumah sakit, kita memerlukan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (Faskes 1). Biasanya faskes 1 ini berupa puskesmas, klinik, atau praktek dokter umum pribadi. Beberapa puskesmas di Jakarta udah tersedia Poli Jiwa yang ada psikolognya, memang bukan dokter, tapi untuk kasus yang masih bisa ditangani tanpa obat, alangkah baik jika melakukan konseling dulu dengan psikolog di puskesmas, gratis (jika faskes 1 kita di situ). Kalo yang di faskes 1 nya gak ada poli jiwa, gimana? maka harus minta rujukan untuk ke ru...

My Mental Health Journey [Part 4]: Coba Aplikasi Riliv

Sebulan setelah konsultasi dengan psikiater lewat aplikasi Halodoc dan didiagnosis gejala depresi, aku  mencoba konsultasi lagi dengan psikolog di aplikasi Riliv. Kenapa mau coba aplikasi ini? Sebetulnya karena setelah baca review teman yang sudah pernah mencoba yang katanya bagus, cukup bikin lega, jadi aku penasaran ingin coba. Aplikasi ini memungkinkan kita sebagai klien untuk melakukan konseling berbayar dengan profesional (khusus  psikolog ) yang tersedia dalam berbagai pilihan paket. Selain itu, Riliv juga menyediakan fitur lain seperti latihan meditasi, daily journal, dan berbagai artikel yang berhubungan dengan kesehatan mental. Untuk konseling  via teks , ada  Paket Perkenalan  dengan biaya Rp. 100.000,- per sesi berdurasi 60 menit (masa berlaku satu minggu), ini direkomendasikan untuk  First Timer .  Lalu ada  Paket Lega  dengan biaya Rp. 350.000,- untuk empat kali sesi (masa berlaku satu bulan). Kemudian ada juga  Paket Nyam...

My Mental Health Journey [Part 3] : Gejala Depresi

Saran dari psikolog sebelumnya sudah coba ku lakukan, tapi ternyata pada prakteknya tetap saja kurang efektif. Nyatanya aku masih sulit mengendalikan emosi dan sering menangis. Ternyata konsultasi online dengan psikolog masih kurang berpengaruh untukku, entah separah apa kondisi mentalku saat itu. Jadi aku coba untuk konsultasi kembali lewat aplikasi yang sama (Halodoc), tapi kali ini dengan psikiater. Sekitar dua bulan kemudian, yaitu tanggal 8 Maret 2019. Baik psikolog maupun psikiater, keduanya merupakan profesional di bidang kesehatan mental. Psikiater adalah dokter yang mengambil spesialis kesehatan jiwa, sehingga bisa memberikan terapi pengobatan kepada pasiennya. Sedangkan psikolog bukan seorang dokter, lebih fokus pada psikoterapi untuk pemulihan pasiennya. Hal pertama yang aku tanyakan pada psikiater saat itu, apakah kondisi mental ibu hamil saat mengandung anak dapat mempengaruhi janin? Mempengaruhi karakter anak yang dilahirkan nantinya. Jawabannya ternyata bisa, tapi bu...