Skip to main content

Dua Target Terbesar di 2021 [Day 7] #BPNRamadan2021

Bukan tipe orang yang terbiasa bikin resolusi awal tahun. Sehari-hari ya cuma dijalani, mengalir begitu aja. Jadi merasa tertantang juga dikasih tema “Target yang Ingin Dicapai 2021” ini. Sebetulnya apa yang sedang aku kejar sekarang?

Aku masih punya mimpi yang tertunda, yaitu melanjutkan kuliah. Dua kali apply beasiswa LPDP dalam negeri, tapi masih belum rejeki. Yang kedua sudah sampai tahap wawancara akhir. Saat itu pewawancara bilang, “oh belum pernah kerja? Ya udah cari pengalaman dulu aja ya”. Langsung jatuh mentalku saat itu.  Sebenarnya bisa aja aku jawab, saat ini belum bisa bekerja karena harus mengurus anak berdua suami di perantauan yang jauh dari orang tua maupun saudara. Saat itu anakku masih bayi, rencanaku mendaftar kuliah untuk tahun ajaran 2020 karena menunggu agar anakku bisa mendapatkan full ASI langsung selama dua tahun. Selain itu juga aku ingin bisa selalu mendampinginya di 1000 hari pertama hidupnya. Tapi sayangnya saat itu aku gak kepikiran jawaban apapun, pasrah. Sekarang mimpi kuliahku semakin jauh, justru yang dipikirkan adalah bagaimana agar anakku mendapat pendidikan sebaik-baiknya, bukan hanya asal sekolah.

Kalau ditanya targetku di 2021 ini apa? Secara garis besar mungkin ada dua. Pertama, bisa secepatnya melanjutkan pengobatan dengan psikiater hingga tuntas, sampai stabil. Memang beberapa penyakit mental tidak bisa dikatakan 100% sembuh, tapi setidaknya jika ditangani dengan baik, aku akan tahu bagaimana menghadapinya ketika berada di kondisi tersulit. Bisa lebih terkontrol, tanpa harus terpicu jika ada penyebab yang muncul. Saat ini pengobatanku tertunda karena baru pindah rumah, jadi jauh dengan rumah sakit sebelumnya. Rencanaku memang mau ganti dokter dan pindah rumah sakit sekalian. Tapi sampai sekarang belum menemukan jadwal dokter dan RS yang cocok. Mengingat jika pergi ke RS yang jaraknya jauh, anakku harus ikut denganku. Kalau dulu saat aku berobat, ia bisa ditinggal di rumah sementara dengan ayahnya yang sedang Work From Home (WFH) karena RSnya sangat dekat dengan rumah. Tapi kali ini jika anakku ditinggal untuk berobat ke RS yang jauh, aku khawatir akan memakan waktu yang lama dan nantinya jadi mengganggu pekerjaan suami.

Aku ingin bisa lebih baik dari ini, ingin potensiku bisa berkembang seoptimal mungkin. Depresi dan BPD membuatku kehilangan semangat menjalani hari-hari. Rasanya seperti memakai topeng, seolah dipaksa untuk tampak normal. Padahal aslinya aku sedang tidak baik-baik saja. Kasihan juga anakku, karena akan ikut terkena dampaknya jika aku seperti ini terus.

Kedua, aku ingin bisa bekerja di luar rumah. Lulus kuliah dulu aku tidak serius mencari kerja karena memang rencana awalnya ingin kuliah lagi dengan beasiswa. Ternyata beasiswa belum lolos, lalu ada yang dating melamar, menikah, punya anak. Memang aku selalu coba ikut tes seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil setiap tahunnya, tapi lagi-lagi belum juga lolos. Tantangan berat untukku yang merupakan sarjana kehutanan, peluang yang lebih besar untuk lolos adalah dengan memilih penempatan di daerah luar Pulau Jawa. Tapi selama tiga kali mencoba, aku selalu mendaftar di kantor pusat (Jakarta) karena lagi-lagi memikirkan anak. Kalau di daerah, nanti anak bagaimana? Pertimbangan sarana pendidikan dan kesehatan di daerah apalagi yang dekat dengan Kawasan hutan tentu aksesnya tidak semudah dan selengkap di kota. Belum lagi memikirkan pekerjaan suami yang saat ini masih bergantung pada ibukota (meski kami tinggalnya di Bogor). Aku gak ingin menjalani hubungan pernikahan jarak jauh, gak sanggup sih lebih tepat.

Tahun ini aku tetap akan mencoba tes CPNS lagi, tapi jika belum lolos juga maka aku akan serius mencari pekerjaan apapun. Sebelumnya aku hanya fokus dengan CPNS lagi-lagi karena pertimbangan anak. Dulu sempat berencana ingin bekerja saat anak sudah lepas ASI, ia dimasukkan ke daycare, tapi ternyata 2020 kita menghadapi pandemi. Daycare tutup, jika menyewa pengasuh berarti harus ditinggal berdua di rumah tanpa ada keluarga yang mengawasi, aku masih belum tega. Belum lagi kalau pengasuhnya bolak-balik, tidak menginap, resiko bertemu orang di luar banyak.

Kenapa mau kerja? Supaya bisa financially independent. Gak selalu bergantung dengan suami. Bisa ngasih ‘jatah bulanan’ ke orang tua pakai penghasilan sendiri. Supaya bisa nabung, investasi, untuk masa depan nanti. Pendidikan anak, dana darurat, dana pensiun, dll. Kalau cuma mengandalkan satu pintu pemasukan aja berat. Kenapa gak coba bisnis? Udah pernah, tapi pernah tertipu sama pembeli, lalu jadi takut buat nyoba lagi. Pun, nampaknya aku gak sekreatif itu, kalau berwirausaha harus benar-benar memikirkan semuanya sendiri. Rasanya aku lebih nyaman dengan pekerjaan yang sudah ada jobdescnya, apalagi yang jenjang karirnya jelas. Untukku itu penting, aku gak ingin mengandalkan anak di masa tuaku kelak.

Sebelumnya pak suami pernah bilang, “Pastikan dulu sebelum kerja, bunda benar-benar sudah siap dengan segala tanggung jawab dan resikonya. Kerja bukan cuma dijadikan alasan buat kabur sementara dari anak”. Iya pak, makanya mau dibenahi dulu kondisi psikisku, supaya siap lahir-batin menghadapi dunia kerja nanti. Semoga bisa terlaksana tahun ini.

Popular posts from this blog

Pengalaman ke Psikiater dengan BPJS

 Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, jika ada kesalahan mohon dikoreksi ya.. Di postinganku sebelumnya ( My Mental Health Journey Part 5 ), kata psikiater yang kuajak konsul online saat itu bilang kalo berobat kesehatan jiwa ke psikiater bisa menggunakan BPJS. Setelah aku googling, memang bisa. Berikut langkah-langkahnya.. Pertama, pastikan dulu kita sudah terdaftar sebagai peserta BPJS aktif, tidak ada tunggakan iuran. Lalu untuk bisa berobat ke psikiater di rumah sakit, kita memerlukan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (Faskes 1). Biasanya faskes 1 ini berupa puskesmas, klinik, atau praktek dokter umum pribadi. Beberapa puskesmas di Jakarta udah tersedia Poli Jiwa yang ada psikolognya, memang bukan dokter, tapi untuk kasus yang masih bisa ditangani tanpa obat, alangkah baik jika melakukan konseling dulu dengan psikolog di puskesmas, gratis (jika faskes 1 kita di situ). Kalo yang di faskes 1 nya gak ada poli jiwa, gimana? maka harus minta rujukan untuk ke ru...

My Mental Health Journey [Part 3] : Gejala Depresi

Saran dari psikolog sebelumnya sudah coba ku lakukan, tapi ternyata pada prakteknya tetap saja kurang efektif. Nyatanya aku masih sulit mengendalikan emosi dan sering menangis. Ternyata konsultasi online dengan psikolog masih kurang berpengaruh untukku, entah separah apa kondisi mentalku saat itu. Jadi aku coba untuk konsultasi kembali lewat aplikasi yang sama (Halodoc), tapi kali ini dengan psikiater. Sekitar dua bulan kemudian, yaitu tanggal 8 Maret 2019. Baik psikolog maupun psikiater, keduanya merupakan profesional di bidang kesehatan mental. Psikiater adalah dokter yang mengambil spesialis kesehatan jiwa, sehingga bisa memberikan terapi pengobatan kepada pasiennya. Sedangkan psikolog bukan seorang dokter, lebih fokus pada psikoterapi untuk pemulihan pasiennya. Hal pertama yang aku tanyakan pada psikiater saat itu, apakah kondisi mental ibu hamil saat mengandung anak dapat mempengaruhi janin? Mempengaruhi karakter anak yang dilahirkan nantinya. Jawabannya ternyata bisa, tapi bu...

My Mental Health Journey [Part 4]: Coba Aplikasi Riliv

Sebulan setelah konsultasi dengan psikiater lewat aplikasi Halodoc dan didiagnosis gejala depresi, aku  mencoba konsultasi lagi dengan psikolog di aplikasi Riliv. Kenapa mau coba aplikasi ini? Sebetulnya karena setelah baca review teman yang sudah pernah mencoba yang katanya bagus, cukup bikin lega, jadi aku penasaran ingin coba. Aplikasi ini memungkinkan kita sebagai klien untuk melakukan konseling berbayar dengan profesional (khusus  psikolog ) yang tersedia dalam berbagai pilihan paket. Selain itu, Riliv juga menyediakan fitur lain seperti latihan meditasi, daily journal, dan berbagai artikel yang berhubungan dengan kesehatan mental. Untuk konseling  via teks , ada  Paket Perkenalan  dengan biaya Rp. 100.000,- per sesi berdurasi 60 menit (masa berlaku satu minggu), ini direkomendasikan untuk  First Timer .  Lalu ada  Paket Lega  dengan biaya Rp. 350.000,- untuk empat kali sesi (masa berlaku satu bulan). Kemudian ada juga  Paket Nyam...