Skip to main content

Fakta banget nih? [Day 5] #BPNRamadan2021

        Baru hari ke lima tapi udah skip nulis karena tanggal 17 April kemarin ada acara Bangbangcon-nya BTS di YouTube seharian dari siang sampe malam, hampir delapan jam nonstop. Lalu besoknya hari ke enam juga skip karena sibuk menyiapkan buat buka puasa bareng temen suami + anak + istrinya di rumah. Sekarang udah hari ke-tujuh, hutang cerita udah ada tiga hahaha. Konsisten itu emang gak mudah yaa.

        Tema hari ke lima adalah “Top 7 fakta tentang kamu”. Nah lho suka bingung deh kalo disuruh nulis tentang diri sendiri. Sebelumnya udah penah nulis tentang perkenalan diri di blog ini. Mungkin di tulisan kali ini ada beberapa yang akan diceritakan kembali ya. Oke, kita mulai.

  •  Numpang lahir di Jakarta. Awal November 1993 aku terlahir di rumah orang tua mamah. Katanya gak sempat dibawa ke bidan, masih di rumah udah lahir duluan. Saat aku berusia dua tahunan, orang tuaku berpisah setelah 13 tahun menikah. Kemudian aku pindah ikut dengan papah tinggal sementara di Tangerang beberapa bulan, lalu dititipkan ke nenek-kakek di Kabupaten Indramayu sampai lulus SMA. Hingga akhirnya kuliah di Bogor, dan masih betah di sini sampai menikah dan punya satu anak balita. Jadi memang akta kelahiranku Jakarta, tapi aku gak tau apa-apa tentang ibukota, karena cuma “numpang lahir” di sana.
  • Anak bungsu gak jadi. Kok bisa? Masa enggak haha. Aku anak terakhir dari empat bersaudara kandung (satu bapak, satu ibu). Dua tahun setelah mereka berpisah, mamah menikah lagi dan punya satu anak laki-laki dengan suami barunya (jadi aku punya adik satu ibu, beda bapak). Dua tahun setelah itu papaku juga menikah lagi dan punya satu anak perempuan dengan istri barunya (adikku satu bapak, beda ibu). Jadi sebenarnya aku punya semua, kakak perempuan dan laki-laki, serta adik laki-laki dan perempuan😊.
  •  Introvert. Bukan berarti pendiam, tertutup, atau antisosial. Introvert hanya butuh waktu sendiri untuk mengisi kembali energinya. Berbeda dengan ekstrovert yang justru mendapatkan energi dengan berkumpul bersama orang lain. Mungkin karena selama tinggal dengan nenek, aku berasa anak tunggal, jadi terbiasa sendiri dan menikmati kesendirian itu.
  • Mudah beradaptasi. Saat kuliah tingkat pertama, kami diwajibkan tinggal di asrama. Satu kamar berisi empat orang yang berasal dari daerah berbeda. Tiga tahun berikutanya juga gak pernah sekamar sendirian, selalu berdua atau bertiga. It’s okay, gak masalah. Semua baik-baik aja. Aku sampai gak ingat kapan pernah nangis karena rindu rumah, saking jarangnya. Padahal itu pertama kalinya merantau jauh dari nenek. Begitupun dengan pengalaman selama praktek di perkuliahan. Seminggu, dua minggu, bahkan sebulan tinggal di hutan karena tuntutan jurusan, aku selalu merasa betah dan dengan mudah berbaur dengan lingkungan. Adaptasi tersulitku hanya satu, yaitu menjadi ibu. Sudah tiga tahun, tapi aku masih berproses menerima peran ini.
  • Sensitif. Atau perasa. Mudah tersentuh, menangis, marah. Setelah aku didiagnosis Borderline Personality Disorder (BPD) atau Gangguan Kepribadian Ambang, barulah aku menyadari sensitivitas ini adalah salah satu gejalanya. Karena ciri utama kepribadian borderline ini adalah emosi / mood yang sering tidak stabil, jadi ketika ada stressor/masalah yang menurut orang lain biasa saja, bagiku sudah bisa menimbulkan reaksi yang berlebih.
  • Overthinker. Kayaknya segala hal serba terlalu dipikirkan. Pernah aku lagi masak, lagi motekin buntut tauge aja sambil kepikiran “kenapa ya, orang mengiris bawang putih ada yang digeprek dulu, ada yang langsung diiris”. Atau tentang hal yang berkaitan dengan pengasuhan anak, banyak hal yang sebetulnya wajar dilakukan balita, tapi bagiku terlalu jadi beban pikiran.
  • Dinamis, tidak statis. Aku hari ini bisa berbeda dengan yang kemarin, atau minggu lalu, atau bulan, atau tahun lalu. Kalau liat notifikasi dari facebook tentang memori beberapa tahun lalu, aku sering merasa “kok aku gini banget ya dulu”. Mungkin itu bukti bahwa aku terus bertumbuh. Pemikiranku juga jadi ikut berubah. Seperti dulu sebelum menikah, aku ingin punya anak banyak, tiga, empat, bahkan lima. Saat hamilpun sempat berharap anak kembar karena ada gen kembar dari mamah. Tapi sekarang saat sudah merasakan mengurus anak sendiri, no helper at all, rasanya membesarkan satu anak saja cukup. Saat ini gak ada kenginian sama sekali untuk nambah anak lagi. Entah beberapa tahun lagi, mungkin jika situasi dan kondisinya sudah berubah, pikiranku akan berbeda juga. Sekarang ya jalani aja dulu perannya. Nanti di depan pasti ada sesuatu hal lagi yang mungkin bisa mengubah pemikiranku, atau malah semakin memantapkan keputusanku sebelumnya.  Allah Yang Maha Membolak-balikkan hatiku.

Bogor, 19 April 2021.

Popular posts from this blog

Pengalaman ke Psikiater dengan BPJS

 Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, jika ada kesalahan mohon dikoreksi ya.. Di postinganku sebelumnya ( My Mental Health Journey Part 5 ), kata psikiater yang kuajak konsul online saat itu bilang kalo berobat kesehatan jiwa ke psikiater bisa menggunakan BPJS. Setelah aku googling, memang bisa. Berikut langkah-langkahnya.. Pertama, pastikan dulu kita sudah terdaftar sebagai peserta BPJS aktif, tidak ada tunggakan iuran. Lalu untuk bisa berobat ke psikiater di rumah sakit, kita memerlukan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (Faskes 1). Biasanya faskes 1 ini berupa puskesmas, klinik, atau praktek dokter umum pribadi. Beberapa puskesmas di Jakarta udah tersedia Poli Jiwa yang ada psikolognya, memang bukan dokter, tapi untuk kasus yang masih bisa ditangani tanpa obat, alangkah baik jika melakukan konseling dulu dengan psikolog di puskesmas, gratis (jika faskes 1 kita di situ). Kalo yang di faskes 1 nya gak ada poli jiwa, gimana? maka harus minta rujukan untuk ke rumah

My Mental Health Journey [Part 2] : Pertama Konsultasi ke Profesional

Langkah awal yang ku ambil untuk mendapat bantuan profesional dilakukan dengan konsultasi melalui aplikasi Halodoc dengan seorang psikolog klinis. Tepatnya tanggal 14 Januari 2019, Kinan masih berusia 8 bulan. Kira-kira seperti ini percakapanku dengan psikolog saat itu… Aku        : Saya merasa sulit mengontrol emosi di depan anak. Anak saya baru beusia 8 bulan. Rasanya kelakuan yang sebenarnya wajar dilakukan oleh bayi, tapi membuat saya sangat kesal. Sampai banting-banting barang. Saya tahu ini gak baik untuk anak saya. Saya korban perceraian orang tua, sejak umur tiga tahun saya diasuh oleh nenek dari pihak ayah. Sampai saat ini saya gak terlalu dekat dengan ibu kandung. Rasanya gak begitu sayang dengan beliau, karena saya merasa dulunya gak diurusin. Psikolog: Baik. Sebelumnya boleh saya tau harapan ibu dalam melakukan konsultasi ini? A             : Saya perlu arahan apakah sebaiknya saya sudah butuh untuk berobat ke psikiater atau belum P             : Menurut saya

My Mental Health Journey [Part 1] : Deteksi Awal

Gak ingat kapan tepatnya pertama kali menyadari bahwa ada yang salah, kenapa aku gak seperti kebanyakan ibu-ibu normal lain yang merasa bahagia karena punya anak. Kenapa setelah jadi ibu, malah lebih banyak menangis daripada tersenyum apalagi tertawa bahagia?  Aku melahirkan di rumah mertua, gak seperti kebanyakan ibu lain yang  melahirkan anak pertamanya dekat dengan ibu kandungnya. Mungkin karena dari kecil aku juga gak dekat dengan ibu. Rasanya justru lebih nyaman di tempat mertua daripada di rumah orang tua sendiri. Dua bulan pertama sebagai ibu kulewati di sana, sampai akhirnya kami memutuskan untuk kembali merantau ke Bogor. Bedanya dulu di rumah cuma berdua, sekarang jadi bertiga dengan anggota keluarga baru yaitu si bayi. Bisa dibilang aku gak ada gejala  baby blues  yang parah selama itu. Tapi siapa sangka justru gejala  depresi  yang muncul setelahnya, setelah berbulan-bulan mengurus anak di perantauan hanya dengan suami,  no helper at all .. Yang aku ingat saat itu Kinan mas