Skip to main content

Jarang Nonton TV [Day 6] #BPNRamadan2021

Sejak kuliah sampai sekarang punya anak, termasuk jarang nonton TV. Setelah menikahpun baru beli TV 15 bulan kemudian. Sekalinya nonton paling cuma nyetel saluran National Geographic, atau waktu anak udah berumur dua tahunan nonton kartun Upin-Ipin, udah. Sekarang anak udah tiga tahun, makin jarang TV menyala, karena memang dari bayi aku batasi screen timenya. Jadi aku seringnya nonton di smartphone pas ngelonin anak, tentunya dengan handsfree nyangkut di telinga. Pernah waktu anak udah tidur, aku nyalain TV mau nonton drama korea yang lagi on going, eh anaknya bangun nyuruh matikan TVnya. Ujung-ujungnya minta ditemenin tidur lagi. Sejak jadi ibu, ‘disandera’ anak mulu. Geraknya jadi serba terbatas, bahkan untuk me time pun. Jadi udah gak terlalu ingat apa serial TV favorit. Kita list drama korea favorit aja kalau gitu yaa. Aku gak akan bahas sinopsisnya detail karena pasti udah banyak yang bahas, mungkin hanya alasan kenapa suka atau pelajaran yang bisa dipetik dari drama itu aja.

1.       Dream High 1 (2011). Drama pertama yang ditonton di TV gak ketinggalan sama sekali, setiap pulang sekolah (waktu aku masih SMA) selalu ingin buru-buru sampai biar gak ketinggalan nonton ini di Indosiar. Aku suka karena banyak nyanyi-nya LOL. Ceritanya tentang murid SMA Musik Kirin yang berusaha menggapai mimpi masing-masing. Ada plot twist di akhir, tapi aku suka. Apalagi perkembangan emosi pemeran utama wanitanya, Go Hyemi (Bae Suzy) yang sebelumnya temperamental, jadi lebih bijak dan dewasa. Tahun 2020 kemarin aku tonton ulang drama ini.

2.       Reply 1988 (2015). Telat aku nontonnya, baru liat di 2020. Jujur, di episode 1-2 aku merasa agak bosan, mungkin karena settingnya jadul, jadi berasa kayak lagi nonton drama lama. Juga karena pemeran utamanya banyak, butuh waktu buat menghapal mengenal satu-satu karakternya. Tapi setelah tiga episode terlewati barulah bisa menikmati alurnya, ikut terbawa suasana, ketawa ngakak, nangis, terharu, geregetan, kagum, ada semua. Ceritanya sederhana tapi sungguh ngena. Berasa kayak liat kehidupan bertetangga sehari-hari yang ideal ya begitu. Kasih sayang dalam keluarga, persahabatan, cinta masa kecil, semua ada. 

3.       It’s Okay That’s Love (2015). Ini juga baru ditonton 2020. Efek pandemi jadi banyak nonton drama korea karena bosan di rumah aja. Sebelumnya suka nonton juga tapi gak setiap hari. Tapi sebelum pandemi ini terakhir nonton drama korea 2017 waktu masih hamil. Sebetulnya malah banyak yang ceritanya gak terlalu nempel di kepala. Apalagi setelah melahirkan rasanya banyak memoriku yang hilang. Tuh kan curhat lagi hahaha.. It’s Okay That’s Love bercerita tentang penulis Jang Jaeyol (Jo Insung) dan psikiater Ji Haesoo (Gong Hyojin) yang secara gak sengaja bertemu, dan tinggal bersama di co-house, semacam rumah kost gitu lah ya. Mataku lebih terbuka dengan mental health karena drama ini. Karena setiap karakternya ternyata punya trauma yang menyebabkan masalah mentalnya masing-masing. Episode-episode menjelang tamat cukup mengundang air mata, tapi akhirnya tetap bahagia.

4.       It’s Okay to Not be Okay (2020). Drama on-going pertama yang ditonton, karena biasanya selalu nonton yang udah tamat karena mau spoiler endingnya dulu. Kalo sad ending gak akan kutonton haha. Maunya yang happy-happy aja. Tapi karena tertarik sama ceritanya, jadi rela nunggu dua episode setiap minggunya. Yang bikin tertarik pertama kali karena temanya lagi-lagi menyangkut mental health. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari drama ini. Dari mulai mengendalikan emosi lewat butterfly hug, untuk tidak takut menghadapi trauma, belajar untuk berani berbicara dan memperjuangkan kebahagiaan. Tidak baik-baik saja itu tidak apa-apa. Diterima perasaan  negatifnya, gali penyebabnya, temukan solusinya. Jika dirasa gak sanggup sendiri ya minta bantuan professional di bidangnya itu boleh banget.

5.       Fix You / Soul Mechanic (2020). Ini juga telat, baru nonton Januari 2021 kemarin. Jadi salah satu healing drama terfavorit buatku sih. Episode awal-awal cukup menyentuh, tapi bukan tipe yang bikin penasaran di tiap akhir episodenya sih. Pasiennya banyak, jadi makin tau tentang macam-macam gangguan kejiwaan (lebih banyak dari dua drama sebelumnya yang aku sebutkan di atas). Dan yang bikin tertariknya lagi karena pemeran utama perempuannya juga mengidap BPD, sama sepertiku. Pelajaran penting yang bisa kuambil adalah bahwa untuk pulih dari luka batin adalah tidak memaksakan diri untuk menghapusnya, melainkan menerima dan mencintai luka itu.


Tiga drama favoritku bertemakan sama, yaitu mengangkat isu kesehatan mental. Mungkin karena dari pertengahan tahun lalu setelah didiagnosis BPD dan depresi, ketertarikanku terkait hal itu jadi meningkat. Dan dari tiga drama tersebut (It’s Okay That’s Love, It’s Okay to Not be Okay, Fix You) akar masalahnya ada pada hubungannya dengan orang tua di waktu kecil. I can relate so much. Jadi ceritanya aku nonton sambil belajar, sambil berusaha self healing lewat tontonan.

Popular posts from this blog

Pengalaman ke Psikiater dengan BPJS

 Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, jika ada kesalahan mohon dikoreksi ya.. Di postinganku sebelumnya ( My Mental Health Journey Part 5 ), kata psikiater yang kuajak konsul online saat itu bilang kalo berobat kesehatan jiwa ke psikiater bisa menggunakan BPJS. Setelah aku googling, memang bisa. Berikut langkah-langkahnya.. Pertama, pastikan dulu kita sudah terdaftar sebagai peserta BPJS aktif, tidak ada tunggakan iuran. Lalu untuk bisa berobat ke psikiater di rumah sakit, kita memerlukan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (Faskes 1). Biasanya faskes 1 ini berupa puskesmas, klinik, atau praktek dokter umum pribadi. Beberapa puskesmas di Jakarta udah tersedia Poli Jiwa yang ada psikolognya, memang bukan dokter, tapi untuk kasus yang masih bisa ditangani tanpa obat, alangkah baik jika melakukan konseling dulu dengan psikolog di puskesmas, gratis (jika faskes 1 kita di situ). Kalo yang di faskes 1 nya gak ada poli jiwa, gimana? maka harus minta rujukan untuk ke rumah

My Mental Health Journey [Part 2] : Pertama Konsultasi ke Profesional

Langkah awal yang ku ambil untuk mendapat bantuan profesional dilakukan dengan konsultasi melalui aplikasi Halodoc dengan seorang psikolog klinis. Tepatnya tanggal 14 Januari 2019, Kinan masih berusia 8 bulan. Kira-kira seperti ini percakapanku dengan psikolog saat itu… Aku        : Saya merasa sulit mengontrol emosi di depan anak. Anak saya baru beusia 8 bulan. Rasanya kelakuan yang sebenarnya wajar dilakukan oleh bayi, tapi membuat saya sangat kesal. Sampai banting-banting barang. Saya tahu ini gak baik untuk anak saya. Saya korban perceraian orang tua, sejak umur tiga tahun saya diasuh oleh nenek dari pihak ayah. Sampai saat ini saya gak terlalu dekat dengan ibu kandung. Rasanya gak begitu sayang dengan beliau, karena saya merasa dulunya gak diurusin. Psikolog: Baik. Sebelumnya boleh saya tau harapan ibu dalam melakukan konsultasi ini? A             : Saya perlu arahan apakah sebaiknya saya sudah butuh untuk berobat ke psikiater atau belum P             : Menurut saya

My Mental Health Journey [Part 1] : Deteksi Awal

Gak ingat kapan tepatnya pertama kali menyadari bahwa ada yang salah, kenapa aku gak seperti kebanyakan ibu-ibu normal lain yang merasa bahagia karena punya anak. Kenapa setelah jadi ibu, malah lebih banyak menangis daripada tersenyum apalagi tertawa bahagia?  Aku melahirkan di rumah mertua, gak seperti kebanyakan ibu lain yang  melahirkan anak pertamanya dekat dengan ibu kandungnya. Mungkin karena dari kecil aku juga gak dekat dengan ibu. Rasanya justru lebih nyaman di tempat mertua daripada di rumah orang tua sendiri. Dua bulan pertama sebagai ibu kulewati di sana, sampai akhirnya kami memutuskan untuk kembali merantau ke Bogor. Bedanya dulu di rumah cuma berdua, sekarang jadi bertiga dengan anggota keluarga baru yaitu si bayi. Bisa dibilang aku gak ada gejala  baby blues  yang parah selama itu. Tapi siapa sangka justru gejala  depresi  yang muncul setelahnya, setelah berbulan-bulan mengurus anak di perantauan hanya dengan suami,  no helper at all .. Yang aku ingat saat itu Kinan mas