Skip to main content

Sharing for healing [Day-2] #BPNRamadan2021

#BPNRamadan 2021 adalah kali ketiga aku mengikuti event menulis 30 hari berturut-turut. Pertama  dan kedua bukan di blog, melainkan Instagram. Karena saat itu belum punya blog. Pertama kali ikut di awal tahun 2019, harusnya bisa selesai di 30 hari pertama bulan januari. Tapi kenyataannya baru selesai di bulan Mei. Karena nulisnya selalu nunggu mood yang mendukung, sedangkan saat itu bisa dibilang lagi di titik terlemahnya aku sebagai ibu baru. Meski sekarang belum pulih sepenuhnya tapi sudah jauh lebih baik. Lalu ikut event menulis yang sama di tahun berikutnya yaitu 2020. Tapi sampai akhir tahun belum selesai juga. Otakku mentok karena dikasih tema melanjutkan cerita fiksi. Sedangkan aku kalo nulis ya isinya cuma curhat semua, non fiksi.

Sekarang mau coba ikut, karena waktu liat tema di dua hari pertama ini nampak cocok untuk dimasukkan ke blog alakadarku yang sebelumnya baru berisi dua tulisan. Semoga bisa konsisten sampe akhir bulan Ramadan ini ya nulisnya. Tapi kalo tulisannya masih ‘begini-begini’ aja mohon dimaklumi, namanya juga pemula..

Jadi, kenapa menulis di blog? Karena bosen nulis di caption Instagram haha. Bukan kok. Emang pada dasarnya aku suka menulis, suka sharing. Sejak kecil saat masih SD hobiku nulis buku harian. Dari model yang biasa, nulis di binder kertas bergambar warna warni, sampe buku harian yang bisa digembok (sounds familiar? Berarti kita seangkatan. Toss!!) haha entah ya jaman sekarang masih ada yang jual atau enggak buku diary macam itu. Sampai saat inipun masih suka nulis jurnal harian walaupun gak tiap hari. Kegiatan menulis untukku seperti menjadi salah satu cara untuk mengenal dan memahami serta mengevaluasi diri.

Agak menyesal karena baru mulai nulis blog sekarang, kenapa gak dari jaman kuliah dulu. Rasanya masa paling bahagiaku adalah saat kuliah sarjana. Aku masuk di jurusan yang hampir setiap minggu selalu jalan-jalan untuk praktikum atau kegiatan lain di luar kampus. Dari pantai sampai puncak gunung, dari pedesaan sampai tengah kota. Pasti banyak sekali cerita yang seharusnya dari dulu bisa dibagikan. Tapi better late than never, kan?

Saat ini aktivitasku sehari-hari ‘hanya’ mengurus rumah dan satu anak balita. Jadi aku ingin menambah aktivitas dengan blogging sambil menyalurkan salah satu hobiku lewat tulisan. Selain itu juga kegiatan menulis blog ini ingin kujadikan sebagai terapi. Writing for healing. Sebagai individu yang punya mental health issue, rasanya ingin sekali bisa ‘memulihkan diri’ dengan menulis. Tentunya hanya sebagai pendukung, tetap ada usaha lainnya yang dilakukan untuk sembuh, baik spiritual, medis maupun non medis. Mungkin nanti akan banyak tulisan curhat terselubung yang muncul di blog ini. That’s okay terserah aku ya.

 

Bogor, 15 April 2021.

Popular posts from this blog

Pengalaman ke Psikiater dengan BPJS

 Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, jika ada kesalahan mohon dikoreksi ya.. Di postinganku sebelumnya ( My Mental Health Journey Part 5 ), kata psikiater yang kuajak konsul online saat itu bilang kalo berobat kesehatan jiwa ke psikiater bisa menggunakan BPJS. Setelah aku googling, memang bisa. Berikut langkah-langkahnya.. Pertama, pastikan dulu kita sudah terdaftar sebagai peserta BPJS aktif, tidak ada tunggakan iuran. Lalu untuk bisa berobat ke psikiater di rumah sakit, kita memerlukan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (Faskes 1). Biasanya faskes 1 ini berupa puskesmas, klinik, atau praktek dokter umum pribadi. Beberapa puskesmas di Jakarta udah tersedia Poli Jiwa yang ada psikolognya, memang bukan dokter, tapi untuk kasus yang masih bisa ditangani tanpa obat, alangkah baik jika melakukan konseling dulu dengan psikolog di puskesmas, gratis (jika faskes 1 kita di situ). Kalo yang di faskes 1 nya gak ada poli jiwa, gimana? maka harus minta rujukan untuk ke ru...

My Mental Health Journey [Part 4]: Coba Aplikasi Riliv

Sebulan setelah konsultasi dengan psikiater lewat aplikasi Halodoc dan didiagnosis gejala depresi, aku  mencoba konsultasi lagi dengan psikolog di aplikasi Riliv. Kenapa mau coba aplikasi ini? Sebetulnya karena setelah baca review teman yang sudah pernah mencoba yang katanya bagus, cukup bikin lega, jadi aku penasaran ingin coba. Aplikasi ini memungkinkan kita sebagai klien untuk melakukan konseling berbayar dengan profesional (khusus  psikolog ) yang tersedia dalam berbagai pilihan paket. Selain itu, Riliv juga menyediakan fitur lain seperti latihan meditasi, daily journal, dan berbagai artikel yang berhubungan dengan kesehatan mental. Untuk konseling  via teks , ada  Paket Perkenalan  dengan biaya Rp. 100.000,- per sesi berdurasi 60 menit (masa berlaku satu minggu), ini direkomendasikan untuk  First Timer .  Lalu ada  Paket Lega  dengan biaya Rp. 350.000,- untuk empat kali sesi (masa berlaku satu bulan). Kemudian ada juga  Paket Nyam...

My Mental Health Journey [Part 3] : Gejala Depresi

Saran dari psikolog sebelumnya sudah coba ku lakukan, tapi ternyata pada prakteknya tetap saja kurang efektif. Nyatanya aku masih sulit mengendalikan emosi dan sering menangis. Ternyata konsultasi online dengan psikolog masih kurang berpengaruh untukku, entah separah apa kondisi mentalku saat itu. Jadi aku coba untuk konsultasi kembali lewat aplikasi yang sama (Halodoc), tapi kali ini dengan psikiater. Sekitar dua bulan kemudian, yaitu tanggal 8 Maret 2019. Baik psikolog maupun psikiater, keduanya merupakan profesional di bidang kesehatan mental. Psikiater adalah dokter yang mengambil spesialis kesehatan jiwa, sehingga bisa memberikan terapi pengobatan kepada pasiennya. Sedangkan psikolog bukan seorang dokter, lebih fokus pada psikoterapi untuk pemulihan pasiennya. Hal pertama yang aku tanyakan pada psikiater saat itu, apakah kondisi mental ibu hamil saat mengandung anak dapat mempengaruhi janin? Mempengaruhi karakter anak yang dilahirkan nantinya. Jawabannya ternyata bisa, tapi bu...