Skip to main content

Just keep writing!

Hari ini aku mencoba menghidupkan kembali blog yang untuk beberapa saat kemarin sempat mati suri. Ada suatu hal yang memancing reaksiku untuk meng-archive semua postingan di sini. Itu adalah salah satu tindakan impulsif, yaitu bertindak hanya berdasarkan insting. Gak perlu diceritakan sekarang ya alasannya kenapa, mungkin nanti, atau mungkin juga gak akan pernah.

Jadi aku gak berhasil ikut challenge dari Blogger Perempuan Network, #BPNRamadan2021 yaitu menulis 30 hari berturut-turut selama bulan Ramadan dengan tema yang sudah ditentukan setiap harinya. Ternyata baru hari ke-tujuh, aku sudah menyerah. Padahal tema-temanya termasuk ringan, cocok buat konten di blog pemula kayak aku begini. Mungkin nanti kalo moodku sedang mendukung tetap bakal nulis mengambil tema dari challenge itu:)) biarkan semua tulisan ini jadi bukti jejak proses menulisku dari yang amatir sampai (semoga bisa) lebih pro nanti.

Tiba-tiba sore tadi muncul keinginan untuk menulis. Memang beda rasanya ketika yang salah di otak sudah dibenarkan. Bulan kemarin, 20 April 2021 akhirnya aku kembali ke hadapan meja psikiater untuk konsultasi lagi setelah sempat hampir dua bulan terputus obat karena sibuk pindah rumah. Alhamdulillah, sekarang rasanya bisa berpikir lebih jernih. Kebahagiaan kecil yang sebenarnya sudah ada sebelumnya jadi lebih terlihat.

Aku bersyukur masih bisa menemukan dan melakukan hal-hal yg disuka: nonton drakor (walaupun sekarang lagi vakum, setidaknya dulu pernah nonton 2-3 episode perhari) bermodal kuota, belajar bahasa korea di youtube modal kuota, fangirlingan juga modal kuota. Meski bisa dibilang bukan hal produktif tapi ya lumayan bisa bikin mood membaik demi menjaga kewarasan setelah jadi ibu stay di rumah yg ternyata sangat gak mudah. Berbagai cara pernah ku lakukan untuk membunuh rasa jenuh yang dirasakan karena seringnya cuma di rumah berdua bayi. Masak resep sederhana dari internet, nyanyi-nyanyi di aplikasi karaoke di handphone, mewarnai buku coloring book for adult, sampai bercocok tanam (yang akhirnya gagal haha).

Aktivitas menulis adalah salah satu yang kusuka, walaupun isinya sambil curhat colongan LOL. Supaya lebih bermanfaat tulisannya, aku coba ikut beberapa antologi (menulis buku bareng), sharing di caption instagram, dan akhirnya memutuskan untuk kembali menulis di blog ini. Semoga nanti bisa bermanfaat setidaknya untukku sendiri, dan gak ada cerita tulisan di-archive semua lagi yaa..

Indramayu, 20 Mei 2021.

Popular posts from this blog

Pengalaman ke Psikiater dengan BPJS

 Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, jika ada kesalahan mohon dikoreksi ya.. Di postinganku sebelumnya ( My Mental Health Journey Part 5 ), kata psikiater yang kuajak konsul online saat itu bilang kalo berobat kesehatan jiwa ke psikiater bisa menggunakan BPJS. Setelah aku googling, memang bisa. Berikut langkah-langkahnya.. Pertama, pastikan dulu kita sudah terdaftar sebagai peserta BPJS aktif, tidak ada tunggakan iuran. Lalu untuk bisa berobat ke psikiater di rumah sakit, kita memerlukan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (Faskes 1). Biasanya faskes 1 ini berupa puskesmas, klinik, atau praktek dokter umum pribadi. Beberapa puskesmas di Jakarta udah tersedia Poli Jiwa yang ada psikolognya, memang bukan dokter, tapi untuk kasus yang masih bisa ditangani tanpa obat, alangkah baik jika melakukan konseling dulu dengan psikolog di puskesmas, gratis (jika faskes 1 kita di situ). Kalo yang di faskes 1 nya gak ada poli jiwa, gimana? maka harus minta rujukan untuk ke rumah

My Mental Health Journey [Part 2] : Pertama Konsultasi ke Profesional

Langkah awal yang ku ambil untuk mendapat bantuan profesional dilakukan dengan konsultasi melalui aplikasi Halodoc dengan seorang psikolog klinis. Tepatnya tanggal 14 Januari 2019, Kinan masih berusia 8 bulan. Kira-kira seperti ini percakapanku dengan psikolog saat itu… Aku        : Saya merasa sulit mengontrol emosi di depan anak. Anak saya baru beusia 8 bulan. Rasanya kelakuan yang sebenarnya wajar dilakukan oleh bayi, tapi membuat saya sangat kesal. Sampai banting-banting barang. Saya tahu ini gak baik untuk anak saya. Saya korban perceraian orang tua, sejak umur tiga tahun saya diasuh oleh nenek dari pihak ayah. Sampai saat ini saya gak terlalu dekat dengan ibu kandung. Rasanya gak begitu sayang dengan beliau, karena saya merasa dulunya gak diurusin. Psikolog: Baik. Sebelumnya boleh saya tau harapan ibu dalam melakukan konsultasi ini? A             : Saya perlu arahan apakah sebaiknya saya sudah butuh untuk berobat ke psikiater atau belum P             : Menurut saya

My Mental Health Journey [Part 1] : Deteksi Awal

Gak ingat kapan tepatnya pertama kali menyadari bahwa ada yang salah, kenapa aku gak seperti kebanyakan ibu-ibu normal lain yang merasa bahagia karena punya anak. Kenapa setelah jadi ibu, malah lebih banyak menangis daripada tersenyum apalagi tertawa bahagia?  Aku melahirkan di rumah mertua, gak seperti kebanyakan ibu lain yang  melahirkan anak pertamanya dekat dengan ibu kandungnya. Mungkin karena dari kecil aku juga gak dekat dengan ibu. Rasanya justru lebih nyaman di tempat mertua daripada di rumah orang tua sendiri. Dua bulan pertama sebagai ibu kulewati di sana, sampai akhirnya kami memutuskan untuk kembali merantau ke Bogor. Bedanya dulu di rumah cuma berdua, sekarang jadi bertiga dengan anggota keluarga baru yaitu si bayi. Bisa dibilang aku gak ada gejala  baby blues  yang parah selama itu. Tapi siapa sangka justru gejala  depresi  yang muncul setelahnya, setelah berbulan-bulan mengurus anak di perantauan hanya dengan suami,  no helper at all .. Yang aku ingat saat itu Kinan mas