Skip to main content

My Mental Health Journey [Part 1] : Deteksi Awal

Gak ingat kapan tepatnya pertama kali menyadari bahwa ada yang salah, kenapa aku gak seperti kebanyakan ibu-ibu normal lain yang merasa bahagia karena punya anak. Kenapa setelah jadi ibu, malah lebih banyak menangis daripada tersenyum apalagi tertawa bahagia? Aku melahirkan di rumah mertua, gak seperti kebanyakan ibu lain yang  melahirkan anak pertamanya dekat dengan ibu kandungnya. Mungkin karena dari kecil aku juga gak dekat dengan ibu. Rasanya justru lebih nyaman di tempat mertua daripada di rumah orang tua sendiri. Dua bulan pertama sebagai ibu kulewati di sana, sampai akhirnya kami memutuskan untuk kembali merantau ke Bogor. Bedanya dulu di rumah cuma berdua, sekarang jadi bertiga dengan anggota keluarga baru yaitu si bayi. Bisa dibilang aku gak ada gejala baby blues yang parah selama itu. Tapi siapa sangka justru gejala depresi yang muncul setelahnya, setelah berbulan-bulan mengurus anak di perantauan hanya dengan suami, no helper at all..

Yang aku ingat saat itu Kinan masih enam bulan. Masa awal pemberian MPASI (Makanan pendamping ASI), lagi susah-susahnya untuk makan. Dia itu dulu tipe bayi yang gak mau buka mulut sendiri dengan sukarela untuk makan, tapi harus dipegangin sesuatu ditangannya (aku kasih krakers Yummy Bites). Jadi ketika dia lagi mangap buat makan krakersnya, langsung, hap! aku masukkan sendok berisi bubur bayi. Alhamdulillah kalo udah masuk mulut selalu ditelan sih. Cuma buat mangapnya itu yang memang agak tricky. Tapi ada masa dimana dia betul-betul gak mau buka mulut, aku kesal, marah, nangis, sampe aku banting mangkok buburnya, berantakan sampe kena wajahnya. Aku mikir, kok begini amat ya ngurus anak? (Padahal… itu belum apa-apa dibanding banyak kelakuan lain yang akan dihadapi di depan nanti).

Hampir semua ibu pasti pernah mengalami menghadapi anak susah makan, bedanya di aku saat itu lebih merasa tertekan, seolah cuma anakku yang makannya susah. Makanya badannya dari bayi gak pernah terlihat gemuk ginuk-ginuk gitu, standar aja. Mungkin karena dia tinggi, jadi terlihat kurus. Tapi berat badannya terbilang selalu aman, meski sedikit ya tetap ada naiknya. Setiap bulan rutin ditimbang dan dicatat. Kurva berat badannya cenderung selalu meningkat meski tidak pesat.

Masa-masa awal pemberian MPASI bisa kubilang sebagai masa tersuram (sebelum tau rasanya menyapih dan toilet training). Mulai saat itu rasanya setiap hari ingin marah, nangis, mudah terpancing emosi, sering overthinking, berasa gak berguna karena cuma bisa di rumah aja, berasa minder melihat teman-teman lain bisa berkarya dan berkarir di bidangnya masing-masing. Sementara berkaca pada diri, setiap hari lagi-lagi cuma mikir mau masak apa dan main apa sama anak hari ini. Berbulan-bulan rasanya gak berdaya, energi selalu habis buat mikir berlebihan dan nangis. Rasanya mulai saat itu setiap bangun pagi bukannya  fresh malah lesu, yang dipikirkan hanya bagaimana caranya agar hari ini bisa segera berlalu. Ya, berbulan-bulan aku seperti itu…

Sampai akhirnya aku memutuskan untuk minta bantuan profesional, via aplikasi chat online sebagai langkah awal.. (Lanjut part 2)

             

Bogor, 23 Juni 2021.

Popular posts from this blog

Pengalaman ke Psikiater dengan BPJS

 Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, jika ada kesalahan mohon dikoreksi ya.. Di postinganku sebelumnya ( My Mental Health Journey Part 5 ), kata psikiater yang kuajak konsul online saat itu bilang kalo berobat kesehatan jiwa ke psikiater bisa menggunakan BPJS. Setelah aku googling, memang bisa. Berikut langkah-langkahnya.. Pertama, pastikan dulu kita sudah terdaftar sebagai peserta BPJS aktif, tidak ada tunggakan iuran. Lalu untuk bisa berobat ke psikiater di rumah sakit, kita memerlukan surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 (Faskes 1). Biasanya faskes 1 ini berupa puskesmas, klinik, atau praktek dokter umum pribadi. Beberapa puskesmas di Jakarta udah tersedia Poli Jiwa yang ada psikolognya, memang bukan dokter, tapi untuk kasus yang masih bisa ditangani tanpa obat, alangkah baik jika melakukan konseling dulu dengan psikolog di puskesmas, gratis (jika faskes 1 kita di situ). Kalo yang di faskes 1 nya gak ada poli jiwa, gimana? maka harus minta rujukan untuk ke rumah

My Mental Health Journey [Part 2] : Pertama Konsultasi ke Profesional

Langkah awal yang ku ambil untuk mendapat bantuan profesional dilakukan dengan konsultasi melalui aplikasi Halodoc dengan seorang psikolog klinis. Tepatnya tanggal 14 Januari 2019, Kinan masih berusia 8 bulan. Kira-kira seperti ini percakapanku dengan psikolog saat itu… Aku        : Saya merasa sulit mengontrol emosi di depan anak. Anak saya baru beusia 8 bulan. Rasanya kelakuan yang sebenarnya wajar dilakukan oleh bayi, tapi membuat saya sangat kesal. Sampai banting-banting barang. Saya tahu ini gak baik untuk anak saya. Saya korban perceraian orang tua, sejak umur tiga tahun saya diasuh oleh nenek dari pihak ayah. Sampai saat ini saya gak terlalu dekat dengan ibu kandung. Rasanya gak begitu sayang dengan beliau, karena saya merasa dulunya gak diurusin. Psikolog: Baik. Sebelumnya boleh saya tau harapan ibu dalam melakukan konsultasi ini? A             : Saya perlu arahan apakah sebaiknya saya sudah butuh untuk berobat ke psikiater atau belum P             : Menurut saya