Langkah
awal yang ku ambil untuk mendapat bantuan profesional dilakukan dengan
konsultasi melalui aplikasi Halodoc dengan seorang psikolog klinis. Tepatnya
tanggal 14 Januari 2019, Kinan masih berusia 8 bulan. Kira-kira seperti ini percakapanku
dengan psikolog saat itu…
Aku : Saya merasa sulit mengontrol emosi di
depan anak. Anak saya baru beusia 8 bulan. Rasanya kelakuan yang sebenarnya
wajar dilakukan oleh bayi, tapi membuat saya sangat kesal. Sampai banting-banting
barang. Saya tahu ini gak baik untuk anak saya. Saya korban perceraian orang
tua, sejak umur tiga tahun saya diasuh oleh nenek dari pihak ayah. Sampai saat
ini saya gak terlalu dekat dengan ibu kandung. Rasanya gak begitu sayang dengan
beliau, karena saya merasa dulunya gak diurusin.
Psikolog: Baik. Sebelumnya
boleh saya tau harapan ibu dalam melakukan konsultasi ini?
A : Saya perlu arahan apakah sebaiknya saya sudah butuh
untuk berobat ke psikiater atau belum
P : Menurut saya akan baik sekali jika ibu melakukan
konsultasi langsung dengan psikolog terlebih dahulu. Saya menduga ibu memiliki
pengalaman traumatis terkait masa kecil. Yang akhirnya mempengaruhi sikap dan
kepribaian ibu saat ini. Tujuan utama untuk berkonsultasi langsung dengan
psikolog adalah untuk pemulihan trauma dan pengendalian emosi. Saran saya juga
jika ada seminar parenting, ada baiknya ibu ikut serta. Karena banyak sekali
pengetahuan yang akan didapat terkait pengasuhan anak dalam era saat ini.
A : Saya sempat diskusi dengan suami, mengenai rencana
saya ke psikiater, suami mengiyakan. Tapi kemudian ia bilang kemungkinan nanti
dikasih obat aja, gak puas konsultasinya. Untuk parenting saya juga banyak cari
info di internet sampai download aplikasinya.
P : Terapi yang dilakukan oleh psikolog bukan terapi
obat tetapi lebih kepada terapi psikologis, misalnya bagaimana meningkatkan
kemampuan untuk mengendalikan emosi, bagaimana memiliki kepribadian yang sehat,
terapi untuk pulih pascatrauma, dll. Sebenarnya bagus juga dengan sering membaca
perihal parenting, hanya terkadang kita butuh penjelasan secara kongkrit apa
yang tertulis di internet. Jika dating ke seminar secara langsung kita juga
bisa saling bertukar informasi dan pengalaman dengan peserta lain.
A : Baik bu, saya pikir langsung ke psikiater, tapi
lebih baik ke psikolog dulu ya. Saya sering baca, tapi tetap aja ketika
berhadapan dengan keadaannya suka kelepasan emosi. Saya kasihan sama anak
saya..
P : Kalo memang butuh ke psikiater biasanya nanti
psikolog akan merekomendasikan untuk ke psikiater, tapi dari cerita ibu, saya
rasa sebaiknya ke psikolog dulu saja.
A : Baik bu, terima kasih atas sarannya.
P : Saya berikan saran praktis untuk pengendalian emosi
ya, mudah-mudahan bisa dipraktekkan dan membuahkan hasil.
A : Boleh, bu.
P : SARAN PENGENDALIAN EMOSI
Beberapa saran
untuk mengendalikan emosi
-
Yakinlah bahwa kamu yang memiliki emosi yang
kamu rasakan
-
Ceritakan Kembali hal yang memicu emosi kamu
-
Berilah penilaian terhadap reaksi emosi kamu
-
Tenangkan diri kamu
-
Mengingat dampak negative yang mugkin muncul
jika tidak mengendalikan emosi
-
Berolahraga teratur
-
Rilekskan otot untuk menghilangkan ketegangan
tubuh dan mental
-
Bayangkan anda berada di tempat yang aman dan
tenang
Untuk menenangkan diri,kamu bisa
melakukan cara-cara berikut
-
Tarik napas dalam-dalam -- Saat menarik napas,
fokuskan pikiran anda pada napas yang masuk ke hidung atau bayangkan
pemandangan yang indah. Lakukan berulang sehingga anda bisa menurunkan emosi
sedikit demi sedikit.
-
Hitung 1 sampai 10 – Dalam hati, secara perlahan
untuk meredakan emosi. Jika perlu, lakukan beberapa kali.
-
Alihkan perhatian – Anda bisa mengalihkan
perhatian pada hal-hal lain seperti menonton TV atau pergi ke toilet.
-
Segera minum segelas air putih
Bisa ibu coba ya.. dan coba juga
perhatikan saat anak sedang tidur. Sambil memandang anak, ibu bisa membesarkan
hati untuk benar-benar akan berusaha mengendalikan emosi terutama terhadap
anak.
A : Saya simpan ya, bu. Nanti saya coba pelajari dan
praktekkan. Emosi saya lebih banyak keluar lewat tangisan. Saya sering sekali
nangis di depan anak. Justru anak saya yang jarang nangis.
P : Bisa juga dicoba nanti kalo memang ingin nangis ke
kamar dulu misalnya. Supaya anak tidak terlalu sering melihat ibunya menangis.
Atau coba arahkan luapan emosi bukan ke tangisan, misalnya dengan menggambar di
kertas, dll.
A : Baik bu nanti saya coba.
Terima kasih banyak, Bu.
---------------
Seperti flashback rasanya ketika menulis kembali percakapan ini:’) Sudah dua tahun lebih berlalu sejak konsultasi online pertama ini dilakukan. Aku memilih untuk menulis kembali percakapan dengan psikolog ketika konsultasi ini agar aku bisa lebih mengingat, karena saat aku mengetik, otomatis aku juga mengulang setiap katanya di dalam kepala. Aku juga terinspirasi dengan buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki karya penulis asal Korea Selatan, Baek Se Hee. Ia menceritakan perjalanannya menuju pulih dari distimia (depresi minor menahun) di blog-nya dengan menuliskan kembali percakapan dengan psikiaternya, yang sudah ia rekam sebelumnya untuk didengarkan dan ditulis kembali di rumah. Memang salah satu impian terbesarku adalah bisa menulis buku solo, dan itu masih jauuuuh sekali dari kenyataan. Tapi gak ada salahnya kan untuk terus menulis dan berbagi? Meski belum tentu ada yang baca :D
Setelah kubaca dan tulis ulang, aku
sadar stu hal. Bahwa ternyata dulu waktu konsultasi itu aku belum benar-benar
menyampaikan apa yang aku rasakan. Seolah masalahku satu-satunya hanya karena
kesulitan mengendalikan emosi, padahal yang kurasa lebih dari itu. Nampaknya
aku harus banyak belajar untuk mengungkapkan perasaan dengan lebih detail,
supaya apa yang kurasa benar-benar tersampaikan.
Next Part 3 .....
Bogor, 26 Juni 2021.